T I G A

59 9 4
                                    

"Tertipu Akan Ulahnya."

********

Siapa pun yang bilang jika senin adalah monster day berarti orang itu berada dalam satu spesies yang sama denganku. Rasanya aku ingin menyuarakan ketidakadilan ini. Bagaimana bisa, Senin datang begitu cepatnya sedangkan hari minggu datang harus membiarkan enam hari lainnya hadir terlebih dahulu.

Seperti baru beberapa detik yang lalu aku menikmati Mingguku dengan bermalas-malasan di kamar. Lalu kenapa sekarang aku justru berada di gerbang sekolah? Menunggu giliran untuk diperiksa oleh orang-orang yang memakai almamater berwarna cokelat susu yang tergabung dalam satu organisasi bernama OSIS.

Ya Tuhan, apa faedah dari geledah tas di pagi ini?!

"Woy Lusa, jangan bengong! Maju lo!"

Sesosok bermuka songong meneriaki namaku. Adalah Rigon yang sedang menampilkan senyum meremehkan ke arahku. Heran aku, kenapa spesies Rigon itu bisa bergabung dengan organisasi terbesar di sekolah ini.

Ringon melirikku. "Buka tas lo."

Dengan malas aku membalikan tas ke arah depan. Membukanya lalu menyodorkan kepada Rigon. "Awas aja lo rusak barang-barang gue!"

"OSIS berhak ya ngapa-ngapain aja."

Kalau saja aku nggak sadar jika gerbang kali ini sudah menjadi kawasan OSIS, dapat dipastikan satu geplakkan akan hadir di kepala Rigon. Belagu banget cowok satu itu mentang-mentang anggota OSIS.

"Cepet deh. Gue bawa semuanya. Topi, dasi, gesper gue pake. Sepatu bukan yang flat kaos kaki panjang. Salah gue masih di mana?"

"Lo mau tau, salah lo di mana?" tanya Rigon sambil tangannya menutup kembali tas milikku.

Aku mengangguk cepat. Aku yakin, Senin kali ini aku nggak sama sekali melanggar aturan sekolah.

"Masya allah! Lo demen banget narik rambut gue!" aku meringis kala rambutku yang tidak terkucir sedang ditarik-tarik oleh Rigon.

Oh, sepertinya ada yang terlupakan.

"Lo mau Upacara tapi rambut lo nggak dikucir. Mau banget dihukum diri di depan podium ya?"

Aku menggeleng. Wajahku berusaha menampilkan raut memelas. Tapi ternyata gagal, karena si Rigon malah makin narik-narik rambutku. "Rigon, kalau lo lupa gue itu sahabat lo."

"Dalam urusan Organisasi itu nggak mandang lo siapa. Sekali pun lo itu keluarganya, kalau memang salah ya harus kena sanksi."

Seribu persen aku yakin jika itu bukan Rigon yang berbicara. Pasalnya, suara yang barusan aku dengar seolah memiliki daya pikat tersendiri untuk selalu didengar. Dan Rigon sangat tidak mungkin jika masuk di kategori tadi.

"Nih, pake. Kalau Senin besok lo masih ngulangin kesalahan lo, siap-siap lo berdiri di depan."

Tangannya terlulur ke depan wajahku dengan sebuah kunciran berpita pink. Lucu. Bukan kuncirannya, namun saat aku tahu siapa yang baru saja mengancamku sekaligus menolongku.

Ada Esok. Yang sedang menaikkan satu alis. Tangan kirinya memegang papan jalan. Sedangkan tangan kanannya masih menggantung di depan wajahku.

Kenapa juga sih, jantungku langsung bereaksi heboh. Norak banget.

"Mau gue kucirin sekalian?"

"Jangan!" tolakku, yang ada gue bisa kena jantungan beneran nantinya, lanjutku dalam hati.

Aku mengambil kuciran itu. "Ma-makasih. Gue pergi dulu."

Aku berlari setelah berhasil menyabet kembali tas milikku yang tadi masih dipegang Rigon. Tangan kiriku merambat naik ke dada bagian kanan. Jedag-jedug itu masih terdengar. Pipiku juga nampaknya sedikit memanas.

Ya Tuhan izinkan aku menarik ucapanku tadi. Ini adalah Senin yang sangat berfaedah. Dan, kenapa juga makhluk bernama Esok itu diam-diam lucu juga?

***********

Biasanya setelah selesai upacara itu kelasku langsung mengganti baju putih abu-abu menjadi seragam olah raga. Karena, jam berikutnya kami dituntut untuk berolah raga mengikuti materi yang ada di buku paket. Dengan seorang Zaky ---Si Sie Olah raga yang mempunyai otak agak rada-rada, sebagai pemimpin.

Harusnya, materi minggu ini masuk ke senam lantai. Nggak tahu kesambet jin tomang sebelah mana, Zaky dengan seenak jidat berteriak lantang tadi di kelas, bahwa kita diharuskan kembali mengikuti materi bola besar.

Yang artinya kalau nggak main bola sepak, futsal, pasti basket.

Dan itu semua adalah kesenangan bagi kaum anak laki-laki. Sedangkan kaumku mendesah kesal. Berkeringat lagi. Baru juga beberapa jam yang lalu mandi, niatnya belajar di kelas dengan tubuh yang fresh tapi kenapa juga harus mengotori tubuh kembali dengan berkeringat.

Oke, olah raga itu memang menyehatkan badan. Kalau habis itu langsung mandi aku fine aja, tapi 'kan ini di sekolah yang bahkan ganti baju cuma dikasih waktu limabelas menit. Mau mandi gimana? Yang ada baru juga mau guyur badan, pintu sudah digetok-getok nggak sabaran sama murid yang mau ganti baju lainnya.

"Gue sih yakin, Bu Erna tuh nggak masuk. Tapi emang si Zaky 'kan nggak ber-periketemanan. Ulah dia pasti, gue yakin!"

Milenia ---Si Bendaraha tergalaknya Sebelas dua mendumel. Dalam hati aku juga membenarkan apa yang dia katakan. Bu Erna pasti nggak masuk, karena nggak ada tanda-tanda dari Guru itu datang ke lapangan. Sekedar memantau anak muridnya.

"WOY ANAK CEWEK, BELIIN MINUMAN GELAS KEK. HAUS NIH KITA HABIS NENDANG BOLA!"

Zaky benar-benar minta didaprat. Mentang-mentang jam kali ini adalah kekuasaannya dia menggunakan itu tanpa rasa belas kasihan kepada kami. Mana minta minum lagi. Siapa juga yang menyuruh dia dan beberapa anak cowok lainnya menendang benda bulat itu?

Nggak ada! Unfaedah banget deh nyuruh-nyuruh.

"EH DAKI ITEM! EMAK LO KE MANA? KOK NGGAK DATENG-DATENG?!"

Bukannya menuruti perintah Zaky, Milenia justru berbalik nanya. Bagus Len, itu baru teman Lusa. Orang sejenis Zaky itu kadang-kadang nggak perlu diladeni. Bisa-bisa ngelunjak nantinya.

"Emak gue?" tanya Zaky.

Emaknya Zaky kali ini itu dalam artian Bu Erna. Karena nggak tahu kenapa Guru itu terlalu sayang sama Zaky. Sampai-sampai Sebelas Dua itu terkenal dengan sebutan kelasnya Zaky di kalangan Guru-Guru lainnya.

"Pergi. doi semalem WA gue, katanya mau ke Anyer. Refreshing."

Lepas Zaky sudah membeberkan jawaban yang tadinya sudah diduga-duga oleh kaumku, sebuah sepatu melayang mengenai sebagian jidat Zaky yang sedang berdiri di tengah lapangan, membuat korbannya itu meringis sekaligus mengumpat.

"Anjir."

"BALA LO DAKI! LO NGAPAIN NYURUH KITA MAEN BOLA KALAU GURUNYA NGGAK MASUK? MASYA ALLAH MINTA DILELEPIN DI EMPANG LO YA!"

Teriakan Luna menggelegar. Membuatku menutup telinga. Kasihan telingaku, nggak salah apa-apa tahu-tahu terkena ledakan bom macam di Hirosima. Dan ya Tuhan, boleh nggak sih tonjokin anak orang yang bernama Zaky itu tapi kitanya nggak dapat dosa? Pasalnya, entah sudah yang ke berapa kali, kelasku tertipu akan ulahnya.

EsokTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang