E M P A T

60 12 3
                                    

"Dia Lagi Kobam Ya?"

********

Entah saat ini sudah menit keberapa dari kegiatan aku yang mengerutuki cuaca Jakarta di pagi hari ini. Rombongan hujan jatuh dari atas langit sana, membasahi aspal jalan juga menghambat langkahku yang tadinya ingin masuk ke koridor. Hingga sekarang, aku terjebak bersama beberapa murid Bina Bangsa lainnya di pos satpam.

Ponsel Luna mati. Heran aku sama anak satu itu. Giliran saat genting seperti ini, dia malah susah untuk dimintakan tolong. Padahal kata dia dulu, kalau aku butuh apa-apa ponsel dia akan selalu aktif seharian hanya untukku. Tapi nyatanya sekarang? Ponsel Luna layaknya benda yang tidak berfungsi.

Benar-benar sahabat.

Aku melirik jam yang menggulung di pergelangan tangan kiriku. Limabelas menit lagi bel masuk akan berbunyi. Tapi belum juga ada tanda-tanda dari hujan akan berhenti, yang ada malahan air bertumpah semakin banyak ditambah angin yang seolah mendayu-dayu. Pagi di Kamis yang buruk.

Helaan napas kekesalanku kembali hadir. Cipratan air kini mulai merambat ke area ubin yang sedang aku injak. Membuat pola lingkaran kecil tercipta di rok putih selutut yang aku kenakan.

"Lus, lo nggak bawa payung gitu?"

Seorang yang pagi ini bernasib sama denganku bertanya. Aku menoleh ke arah kanan. Kalau tidak salah cewek itu bernama Kayila, teman satu kelasnya Rigon.

"Gue nggak tau kalau hari ini hujan. Perkiraan cuaca di berita tadi, Jakarta aman kok," balasku.

Kayila mengangguk sebagai jawaban. Sehabis itu keadaan kembali hening, Kayila sibuk dengan ponselnya dan aku sibuk untuk memikirkan cara apa yang bisa kupakai untuk segera berada di dalam kelas tanpa basah kuyup.

"Ini nggak ada yang mau masuk? Gerbang dikit lagi udah dikunci lho, Neng, Tong."

Pak Abidin, satpam sekolahku berkata.

"Ya elah Pak, kalau nggak ujan dari tadi juga udah cabut ke kelas. Ngapain juga diri di sini lama-lama."

Aku nggak tahu itu barusan siapa yang berbicara. Pak Abidin terkekeh sebentar. Lalu mengalihkan pembicaraan, mengajak beberapa orang untuk berbincang, katanya daripada bosan.

Di tengah suara hujan, sayup-sayup telingaku mendengar suara mesin motor menderu. Semakin lama motor itu mendekat ke arah pos satpam. Perlahan berhenti melaju kala sudah berada di depanku.

"Lo mau bareng nggak?"

Aku termangu sebentar. Menengok ke kanan dan kiriku. Ini orang beneran sedang berbicara denganku 'kan?

"Ujan nih. Mau bareng nggak?" tanyanya orang itu lagi.

"Siapa sih?"

Orang itu malah berdecak sebal mendengar balasan dariku. Lalu membuka kantung plastik berwarna putih yang tadi menggantung di stang motornya.

"Cepet pake! Nanti telat dihukum Guru Piket," katanya sambil tangan kanannya mengulurkan sebuah hoodie berwarna abu-abu ke depan mukaku.

Dia menggerakan tangannya. Aku dengan cepat melapisi baju batik berwana biriku dengan hoodie abu-abu itu. Lantas langsung menepuk jok motornya, sedikit membuat air hujan dan duduk di sana.

Beberapa detik berikutnya dan aku baru sadar aku hanya tahu, aku sedang menerobos hujan. Di boncengan sebuah motor berwarna hitam dengan cowok yang selama ini aku puji-puji sebagai pengemudinya. Wajahku menunduk, menghalau rintik-rintik hujan yang seakan ingin menubruk wajahku yang tidak tertutup apa-apa. Semerbak bau parfum milik Esok membuat hujan kali ini berubah menjadi sebuah situasi yang hangat juga canggung.

******

"Bilang sama gue kalau mata gue itu nggak katarak. Sama sekali!"

Kegiatan men-stalk toko online yang tadi sedang kulakukan terhenti. Kepalaku menengok ke arah kiri. Menemukan Luna yang sedang berdiri menghadapku dengan wajah penuh keheranan.

Dia kenapa?

"Lus! Bilang!" teriaknya lagi.

"Bilang apa?"

"Yang tadi gue omongin!" mata Luna menatapku dengan ganas. "Jangan bilang lo nggak dengerin apa yang gue bilang tadi?!"

Aku menaikan satu alis. "Yang soal mata lo nggak katarak?"

Luna mengangguk. Lantas memukul kepalaku yang tidak salah apa pun dengan sapu yang dibawanya. "Iya."

"Lo bisa liat nggak, di depan sana yang lagi ngapus papan tulis siapa?"

Kepala Luna mengarah ke yang aku bilang. Kemudian cewek itu mengangguk kembali, sambil mulutnya menggumamkan satu nama. "Si Gafa. Ketua OSIS. Kenapa?"

"Nah itu!" aku tersenyum lebar. "Mata lo berarti masih sehat. Buktinya masih bisa ngenalin Gafa."

"Gue nggak nyangka, Lus. Kalau lo ternyata bego beneran," kata Luna kepalanya menggeleng prihatin.

Aku mendesah kesal. Kenapa sih Luna itu? Mengatai jika aku bego padahal 'kan dari tadi dia yang mengulang-ngulang pembicaraan ini sampai aku bertanya, apa faedah dari pertanyaannya yang katanya mata Luna nggak katarak itu.

"Apaan sih?" kesalku pada akhirnya.

"Lo tadi masuk ke sekolah naik apa lo?

Aku berpikir sebentar. "Naik ojek."

"Masuk ke sekolah! Bukan dateng ke sekolah!"

"Diboncengin Esok?"

Senyum kemenangan hadir di bibir Luna. "Nah itu! Kok lo bisa bareng doi? Bukanya dia bggak kenal sama lo ya?"

Otakku kembali memutar. Iya juga, selama setahun lebih aku bersekolah di Bina Bangsa aku nggak pernah tuh berkenalan secara langsung ke Esok. Lalu ada angin apa pagi tadi Esok menawarkan tumpangan motornya ke aku? Dan yang ini masalahnya, emang dia kenal aku?

"Gue? Gue nggak tahu."

"Jangan-jangan lo selama ini udah taken sama Esok. Terus kalian backstreet karena satu sekolah juga tau, Esok masih ada sama Ola?"

Aku memutar bola mata kesal. "Secara nggak langsung, lo nyebut gue pelakor eh?"

Luna malah terbahak. Sapu yang tadi dia pegang dilempar begitu saja. "Kebanyakan stalk Lambe Turah lo ya?"

"Anjir. Salahin aja ige gue, kenapa akun itu terus yang muncul di explore?"

"Masa bodoh dengan LamTur. Sekarang, jelasin ke gue lo ada skandal apa sama Esoka Bagaskara?"

Lalu Luna mengambil bangku yang ada di sampingnya. Menaruh bangku itu agar sejajar denganku. Secara bisik-bisik aku menceritakan kepada Luna bagaiman aku bisa terjebak bersama Esok tadi pagi. Untungnya kali ini Luna nggak banyak komentar. Justru, cewek itu terdiam, sesekali mencibir saat aku melebih-lebihkan adegan kepepet saat hujan pagi tadi.

"Serius lo begitu?" tanya Luna sesaat aku mengakhiri dongeng nyata barusan.

"Dia lagi kobam kali ya?"

"Mungkin. Tipe kayak Esok itu 'kan cowok yang nggak mungkin menolong seseorang kalau orang itu nggak berarti di hidupnya."

Terdiam adalah yang aku lakukan. Spekulasi acak secara langsung hadir di otakku. Membuat kepalaku yang tadi agak pusing menjadi bertambah. Ada satu spekulasi yang paling masuk akal untuk masalah kali ini ; hari ini adalah Kamis, yang berarti segala mitos tentang malam Jumat dijatuhkan pada nanti malam.

Apa Esok itu kena kutukan malam Jumat ya?

EsokTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang