Angga tidak masuk sekolah. Tanpa keterangan izin ataupun sakit. Setiap Guru yang mengajar di Sebelas Dua menanyakan kehadiran Angga ketika ingin mengisi jurnal kelas, selalu dianggap oleh ketidaktahuan dari sekretaris kelas. Aku sudah mencoba bertanya kepada Zaky, namun respon yang diberi cowok itu hanyalah sebuah gelengan tanpa kata lain. Tumben, biasanya apapun tentang Angga, Zaky pasti tahu, begitupun sebaliknya.
Terhitung sudah dua hari wajah Angga tidak muncul di Bina Bangsa. Wali kelasku mulai bertanya-tanya, apa Angga ada masalah sebelum ini. Tapi Sebelas Tiga hanya bisa bungkam yang berarti kami semua tidak pernah tahu di mana Angga sekarang. Menurut whatsapp dengan nomor Angga, cowok itu terakhir kali menggunakan aplikasi itu tiga hari yang lalu, hari terakhir Angga terlihat di sekolah.
"Zak, lo beneran nggak tahu Angga ke mana?" anggap saja aku si Cewek Keras Kepala, sudah berkali-kali aku tanyakan pertanyaan itu kepada Zaky tapi selalu tidak pernah puas dengan jawabannya.
"Lusa!" Zaky yang tadinya sedang menyalin catatanku seketika mendongak, matanya melotot. Oke, oke, Zaky terlihat menahan kesal sekarang. "lo kata gue Adeknya si Angga kali ya, ngikut-ngikut itu bocah terus. Lagipula, kalau gue tahu, mendingan juga gue jujur ke Guru, nggak ada manfaatnya kalau-kalau gue pendem juga."
"Tapi dia nggak kayak biasanya ngilang!"
"Manusia itu berubah Lusa. Siapa tahu Angga lagi ada masalah 'kan?"
"Tapi dia bisa cerita ke gue, elo, atau Luna?"
Zaky melepas pulpen yang digenggamnya. Cowok itu dengan sangat mendramatisir ----itu menurutku---- menghela napasnya. "Akan ada di mana kita punya satu masalah, dan nggak harus kita publish ke dunia. Diam itu emas, Lusa."
"Tapi kalau cuma diam masalah kapan selesainya?"
"Lo kebanyakan tapi! Lusa denger gue, lo nggak usah selebay itu. Biarkan Angga lagi dalam fase menyendirinya, suatu saat lo pasti akan jadi Angga yang sekarang juga."
Pasrah karena kalah adu argumen aku mengangguk saja. Lalu memilih keluar kelas. Karena jika aku hanya di dalam, pikiran aku akan berkelana ke mana-mana, yang nantinya akan berpusat pada satu masalah 'Angga ke mana? Apa kabarnya?' Sumpah, aku tidak pernah sepeduli itu sama siapa pun. Namun, untuk masalah Angga, aku nggak bisa diam, apalagi sehabis aku tahu, jika di balik senyum jenaka Angga ada masalah terberat di sana.
Akhirnya, aku memilih duduk di pinggiran koridor. Punggungku bersender dengan tiang-tiang. Jakarta hari ini cukup baik cuacanya, tidak panas tidak juga hujan, angin-angin yang berembus membuat kesan dingin saat menggelitik kulitku.
"Bengong terus, hati-hati kesambet."
Aku tetap bergeming. Suara Esok yang seminggu ini akrab di telingaku tidak kuhiraukan. Terlalu pusing jika aku meladeni tingkah cowok satu itu.
"Kenapa?" singkat, sangat-sangat Esok sekali.
Aku menoleh, kemudian tersenyum kecil. "Nggak apa-apa."
"Katanya kalau ada masalah itu lebih enak cerita sama orang."
"Katanya Zaky, ada kalanya suatu masalah tidak bisa dibagi ke orang lain. Diam adalah Emas."
Lalu Esok tertawa kencang. Bahunya berguncang. Tuhan, kenapa ciptaanmu yang satu ini sungguh-sungguh menawan? Menampis pikiran aneh itu, dahiku mengernyit heran. Dia ketawa? Apanya yang lucu coba.

KAMU SEDANG MEMBACA
Esok
Novela JuvenilAku yakin, saat aku menyukainya aku tidak sedang mengalami penyakit Skizofrenia. Karena untuknya terlalu indah jika hanya dijadikan khayalan semu semata. Dia, lelaki yang aku juluki 'Si Pemberani' hanya karena membentak balik Kakak OSIS yang memang...