D U A P U L U H

35 6 0
                                    

Rasanya, baru kemarin aku itu masuk play group yang tahunya hanya bermain-main, belajar menulis, dan mulai mencoba membaca. Seperti baru beberapa hari yang lalu aku dan Kabisat berebutan naik kuda-kudaan di time zone saat kami sedang diajak jalan-jalan sama Mama dan Papa.

Kenapa waktu berputar begitu cepat. Mengantarkan aku menjadi anak SMA dan Kabisat yang sebentar lagi akan mendapat gelar sarjana di belakang namanya. Atau aku yang terlalu menikmati proses hidup sampai sekarang ini.

Dan malam ini semuanya terjadi. Puncak dari permasalahan keluarga Irawan untuk pertama kalinya hadir di hidupku. Masalah yang begitu pelik, membuat semuanya seolah meraung-raung menangis karena kejadian ini.

Aku dan Mama sedang duduk di meja saat itu. Waktu beberapa jam yang lalu Papa yang sedang bekerja mendapat telpon dari pihak kepolisan. Bahwa putra semata wayangnya Bapak Irawan itu tertangkap sedang berkumpul bersama teman-temannya di sebuah kost rumahan daerah Kemang. Polisi menemukan beberapa botol bir pemabuk, yang paling parah ada beberapa butir obat-obatan terlarang yang terbungkus plastik berwarna putih.

Mendengar kabar tersebut, Papa langsung izin kepada atasannya untuk mendampingi Kabisat yang memberi keterangan setelah apa yang dilakukannya. Papa menelpon Mama, saat itu juga air mata Mama turun dari mata indahnya. Mamaku yang satu itu hampir pingsan.

Aku hanya bergeming. Pikiranku saat itu seolah hilang entah ke mana. Rasanya mati rasa. Aku, masih tidak menyangka jika seseorang lelaki yang kusayangi sama seperti aku menyayangi Papa bisa berbuat sehina itu. Setahuku Kabisat adalah seseorang yang pantas untuk kucontoh setelah Mama dan Papa.

Namun sekarang, nyatanya takdir merubah segalanya.

"Neng Lusa, mau makan nggak?"

Aku tersenyum kepada Bi Munah, "Nggak Bi, makasih. Lusa mau jaga Mama aja."

Bi Munah mengangguk lalu pamit untuk pergi ke dapur.

Mataku kembali melihat Mama. Bagaimana Ibu Periku itu sedang terkapai lelah di atas kasurnya. Mata Mama memang terpejam, tapi air mata masih berjatuhan dengan deras sedaritadi, tidak luput bibirnya menggumamkan istighfar sebanyak-banyaknya.

"Astaghfirullah ... Kay, Abang kamu itu ada di kamarnya 'kan? Kabi lagi marah-marah sama laptopnya iya 'kan? Kabi lagi pusing mikirin materi skripsinya 'kan Kay?"

Lirihan Mama membuatku kembali meneteskan air mata. Hati Ibu mana yang tidak tersakiti ketika anak bujang kebanggaannya ternyata tertangkap polisi dengan masalah yang tidak bisa diremehkan seperti ini. Ya Tuhan, ini terlalu sulit untuk diterima.

Aku mengusap mataku, lalu keluar dari kamar. Bertepatan saat aku keluar dari kamar Mama untuk ke kamar mandi. Suara mobil dari luar sana terdengar. Papa pulang, mungkin sama Kabisat juga.

Lagi-lagi mataku meneteskan air mata. Saat bunyi suara tamparan dari bawah sana terdengar begitu nyaring. Disusul suara napas Papa yang memburu.

"Saya nggak pernah mengajarkan anda untuk berbuat seperti itu! Saya nggak pernah mengajarkan anda untuk jadi seorang pengecut! Saya nggak pernah mengajarkan anda untuk menyentuh barang-barang hina itu!!!"

Jika Papa susah menyebut 'saya' ke dirinya sendiri dan 'anda' kepada anak-anaknya, berarti tingkat kemarahan Papa sudah pada puncaknya dan meledak-ledak.

"KENAPA KAMU BISA SEPERTI ITU KABISAT?! SAYA TANYA, KENAPA? SAYA TAHU KALAU OTAK KAMU SUDAH MENYERAH MENGERJAKAN SKRIPSI KAMU, TAPI NGGAK SEPERTI INI CARA MELAMPIASKANNYA KABISAT. BUKAN MELANGKAH DI JALAN YANG SESAT. BUKAN!"

"Tidak seperti ini, nak. Papa gagal mendidik kamu. Papa gagal menjadi contoh yang baik untuk kamu. Papa gagal jadi seorang Ayah."

Aku yang mengintip dari anak tangga terakhir langsung berlari memeluk Papa dari belakang. Papa menggebuk dadanya dan kepalanya sendiri secara bergantian. Air mata sudah membasahi wajah tuanya. Cinta pertamaku itu sudah dalam tahap kecewa yang mendalam dan menyalahkan dirinya sendiri.

EsokTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang