22. Berlatih Bersama

1.1K 150 41
                                    

BAB XXII

Berlatih Bersama

Lelaki berambut cokelat pendek yang duduk apik di atas futon, tak terlihat menampakkan ekspresi berarti di wajah. Dingin dan tak terbaca, itulah yang tertampil di sana. Ia merasa bahwa dirinya tak lebih dari boneka, memiliki gelar, tetapi tak bisa berbuat apa-apa. Ia hanya sebagai bidak yang akan digerakkan dari balik layar, menurunkan perintah dari para petinggi. Usianya yang muda, membuatnya tak dihargai, mereka selalu mengambil tindakan sendiri dan menjadikannya orang yang patut disalahkan dari semua ini karena kelemahannya.

Hela napas terdengar hingga ke telinga sendiri, kepalanya terasa berat, dan ia memilih untuk menjatuhkan tubuh. Menarik selimut dan mencoba menenangkan pikiran. Ia sama sekali tak menyangka, kalau perjanjian yang dibuat ini adalah rencana jangka panjang untuk menaklukkan Kerajaan Langit. Untuk merenggut kekuasaan di saat kerajaan besar itu perlahan melemah karena kehilangan dua orang kuat dan berpengaruh sekaligus. Mengambil kesempatan saat celah telah terlihat dan adalah pertanda untuk menjatuhkan Kerajaan Langit dengan rencana yang sudah disusun, hingga sekarang mereka sudah berhasil melebarkan sayap kekuasaan. Istana Hakudoshi jatuh, walau sayanganya, klan itu masih berhasil menyelamatkan rakyat dan calon pemimpin mereka ke suatu tempat yang tak mereka ketahui.

Dari mata yang terpejam itu, setetes air mata jatuh. Bibirnya menggumamkan maaf kepada seseorang yang tulus dianggapnya sebagai saudara.

"Tuan Muda Aoda, maafkan diriku yang bodoh."

.

.

.

Istana Hakudoshi terlihat lebih senyap, Sotaru sang jendral sedang memeriksa penuh wilayah desa, walau malam sudah tiba, ia tetap berkeliling untuk memberi perintah bagi para pengawal maupun tahanan perang.

Suasana yang mencekam terlalu ketara terasa, lelaki itu menyeret satu persatu para petinggi perang, seperti jendral maupun kapten, untuk mengorek informasi. Para penduduk sudah melarikan diri, juga para petinggi lainnya pun tak ditemukan di wilayah ini, mereka selangkah lebih cepat bertindak, itu sebabnya sang jendral dari Kerajaan Matahari langsung mengintrogasi para tahanan di lapangan terbuka. Ia sengaja memberi peringatan kepada tahanan yang lainnya, jika tak bisa menjawab apa yang ia tanyakan, maka penyiksaanlah yang akan menjadi balasanya.

"Pertanyaaku sama, ke mana mereka melarikan diri?"

Lelaki berambut cokelat panjang itu, kemudian menatap tajam orang-orang yang terikat rantai. Ia turun dari kudanya, dan mengambil obor yang dipegang pengawal, mendekatkan nyala api itu kepada wajah tahanan yang merupakan kapten kelompok pertahanan istana. Yoru, nama sang kapten yang terlihat tetap bungkam walau wajahnya disoroti nyala obor oleh Sotaru. Yoru mendengar dengan jelas pertanyaan lelaki berambut cokelat terikat tinggi itu, namun tak mengeluarkan respons sedikitpun, tak sudi hanya sekadar untuk menjawab dengan gelengan kepala.

"Aku tak suka menunggu, sekarang jawab?" lelaki itu semakin menempelkan nyala api kepada perut sang kapten, Yoru menggit bibirnya, merasakan penyiksaan ini, tak membuatnya menyesal dengan hanya menundukkan kepala.

Helai hitam berantakan itu dijambak kuat, obor itu dicampakkan.

Senyum sinis terlihat dari bibir Sotaru, ia lalu menatap salah satu bawahannya, dan lelaki itu maju ke depan memberikannya sebuah sarung tangan khusus, di bagian punggung tangan terdapat besi yang memiliki ujung runjung. Dipakainnya benda itu, dan menghela napas.

"Memang menyebalkan sekali, menunggu yang tak pasti." Sotaru mengarahkan tinju tepat ke wajah. Lelaki itu limbung, dan ia sama sekali tak membiarkan sang kapten tejatuh ke tahan. Ia menahan dengan menjambak rambut hitam Yoru, dan memberikan tendangan di bagian leher.

The Prince's SecretTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang