Rambut yang dikucir kuda itu melambai-lambai ke kanan dan ke kiri. Mengikuti gerak kepala sang empunya. Tangan kanan gadis itu bergerak saat dirinya menegaskan sebuah kalimat yang tak ingin digoyahkan oleh orang lain. Bibir merah muda itu sesekali menyunggingkan senyum yang menganggap remeh lawan yang dia tatap saat ini.
"Dengan ini saya tegaskan sekali lagi, bahwa penggunaan gawai menjadikan proses belajar mengajar menjadi lebih mudah," ucapnya dengan tegas.
Gianna Fidelya, gadis dengan mata cokelat terang itu kian menyorot manik mata di depannya. Lawan yang ia tatap tajam itu sangat menjengkelkan menurutnya. Kenapa tidak? Lelaki itu terus saja meremehkannya, saat ia melontarkan argumen. Bukan Gia namanya kalau tak membalas senyum meremehkan itu.
Baiklah, Gia hanya bisa mendengus kesal. Tidak mungkin dia mencekik leher laki-laki itu. Ia ingat, tujuan Gia mengikuti ekskul ini untuk menunjukkan bahwa gadis itu bukan semata-mata hanya bisa berdebat dengan teman kelas saat presentasi, namun dia juga bisa berdebat dengan mosi yang jelas.
Gia memainkan lembar kertas yg dipegangnya. Sambil menatap tajam laki-laki itu. Dengan mata tajamnya, Gia membaca nama yang tertera pada seragam laki-laki itu.
Elgio Altha Sadana, batinnya mengeja setiap penggalan nama lelaki itu.
Namanya gak asing di telinga gue, tutur Gia dalam hati.
Sepanjang perdebatan, ia hanya menatap Elgio. Elgio hanya manusia, wajar kalau dia merasa jengkel dengan tatapan Gia.
Kok dia gak takut ya? Batin Gio bertanya-tanya.
༺❀༻
Gia melirik jam tangannya itu. Waktu menunjukkan pukul 16.47 sore. Sesekali ia mengedarkan pandangannya. Nasib sial kini menimpanya. Sudah setengah jam lebih Gia menunggu di depan gerbang, tetapi tetap saja jemputannya belum datang.
"Gak pulang?"
Suara itu pun membuyarkan lamunan Gia.
Gia menoleh ke arah suara itu. "Gak," jawabnya singkat.
Cowok ini lagi ..., batinnya.
"Bagus deh kalo gak pulang. Jadi bisa jagain sekolah. Gue duluan ya," ucap Gio.
Gia mengulas senyum semanis mungkin. "Iya," jawabnya.
Padahal, hati mulai meletup-letup. Mulut hampir memuntahkan semua sumpah serapah yang sedari tadi bersarang di tenggorokannya.
"Ok, Gia. Tahan emosi lo. Tahan ...," ucapnya seraya mengambil oksigen sebanyak-banyaknya.
Tin!
Klakson mobil itu membuat Gia mengubah ekspresinya menjadi datar.
"Kenapa lama?" tanya Gia saat ia membuka pintu mobil itu.
Wanita paruh baya itu pun menyunggingkan senyum manis. "Mama ngabisin satu episode dulu, baru jemput kamu."
Gia memutar bola matanya. "Ada ya seorang ibu rela ngorbanin anaknya sendiri demi drakor?"
Wanita bernama Ashilla itu pun terkekeh geli. "Ok, sekarang kita beli macaroon aja gimana?"
Senyum Gia pun merekah. Mamanya itu sangat tahu bagaimana caranya membujuk Gia agar berhenti marah padanya.
"Iya. Tapi terserah Gia ya mau beli sebanyak yang Gia mau," kata Gia sambil menaik-turunkan alisnya.
Mamanya itu hanya mengiyakan ucapan Gia, dan langsung menuju toko kue untuk membeli macaroon kesukaan Gia.
༺❀༻
Mulut gadis itu tak hentinya mengunyah. Padahal ia ingin berhenti memakan macaroon yang di belinya tadi. Diliriknya kotak berisi kue kecil-kecil itu, ternyata masih banyak. Tidak mungkin dia menghabiskannya seorang diri.
Ia pun menutup kotak kue itu dengan rapat. Setelahnya, Gia pun langsung beranjak dari kasurnya itu. Gadis itu langsung menyikat gigi dan mencuci wajahnya.
Ia berjalan kearah nakas. Berniat mengambil ponselnya itu.
"Sepi, kasian banget hp gue gak ada notif," gumamnya.
Padahal bukan sepi, melainkan tak ada yang menarik untuk diajak chat-an.
Gia melirik jam dinding.
"Udah jam 10 malam, mending gue tidur. Soal PR, masih ada besok pagi," kata Gia monolog.
Gia pun merebahkan badannya. Berharap dia akan cepat terlelap.
Ting!
Gia menggerutu. Dia yakin notifikasi itu dari temannya yang meminta jawaban PR.
Gia pun duduk dan mengambil napas panjang. Dia merogoh HP yang nangkring di atas nakas.
Gia pun melihat nama yang tertera di layar ponselnya itu.
Elgio Altha
Add back· · ─────── ·༺❀༻· ─────── · ·
Ayo lanjut baca:)
✎...Cipa ✧
KAMU SEDANG MEMBACA
Querencia [𝚃𝚊𝚖𝚊𝚝]
Teen Fiction"Lo itu kaya black hole, Gio! Gravitasi yang ada di dalam diri lo, bikin gue ketarik dan gak bisa lari lagi! Dan itu, secara perlahan bikin gue sakit." Air mata Gia terus saja keluar dari persembunyiannya. Sore ini keberuntungan tak berpihak pada Gi...