"Bagus kalo lo sadar. Jadi gue gak emosi lagi liat betapa lugunya lo sama Alana." Jovi menghembuskan gumpalan asap dari vape miliknya.
Di antara Bobby dan Gio, Jovi memang yang paling bandel. Maka dari itu ia tak segan untuk mengisap rokok, bolos, atau pun mencari masalah di sekolah.
"Wajar sih kalo gue gak bisa secepat itu melupakan Alana. Soalnya gue udah setahun lebih sama dia. Mana mungkin gue melupakan dia dalam waktu yang singkat," ujar Gio mencari sebuah pembenaran.
"Padahal Alana udah gak sayang sama lo pas kalian masih pacaran. Gila sih, suram banget idup lo," ledek Bobby.
"Tapi sayang, Bob. Gio gak sadar tentang itu," tambah Jovi.
"Ah, lo semua ledekin gue aja terus," sungut Gio.
Bobby tertawa. "Bukannya ngeledekin lo, tapi itu fakta."
"Oh iya, gimana kabar ayah lo?" tanya Jovi.
"Masih sama," kata Gio sambil meminum matchalatte, "Ayah gue gak ada perubahan."
"Jadi, lo bakal kuliah di Prancis dong?" tanya Jovi.
"Bagus sih, siapa tau lo pulang-pulang bawa gandengan cewek bule," ujar Bobby.
"Gia mau di kemanakan?" tanya Jovi sesaat setelah ia memukul bahu Bobby.
"Lumayan, 'kan? Gio punya pacar di Prancis dan di Indonesia. Kalo misalkan putus sama Gia, masih ada yang di Prancis. Enak banget pasti."
Gio langsung memasukkan donat ke dalam mulut Bobby yang daritadi terus mengucapkan hal yang menjengkelkan.
"Nah, udah. Lo diem aja. Pusing gue denger omongan lo," kata Gio sambil menahan rasa kesal. Perhatiannya pun kini berpindah ke Jovi. "Gue masih gak tau, gue gak mau kuliah di Prancis."
"Tapi, gak rugi juga lo kuliah di sana. Dengan nilai lo yang paling tinggi seangkatan, itu peluang bagus buat kuliah di luar negeri," kata Jovi.
"Bukan masalah nilai atau apa. Gue gak mau ninggalin Gia. Gue udah minta waktu buat bales perasaan dia. Kalo misalkan gue pergi ke luar negeri, waktu yang dikasih Gia buat gue, itu akan jadi sia-sia."
"Tap—"
"Lo diem aja, gak usah ikut ngomong," kata Jovi sambil memasukkan kembali donat ke dalam mulut Bobby. "Lo masih belum kasih tau Gia, 'kan?"
Gio menggeleng. "Gue takut Gia bakal kecewa sama gue."
"Gue yakin Gia bukan orang yang kaya gitu," ucap Jovi.
Bobby mengunyah donat yang memenuhi mulutnya itu. Lalu ia meminum matchalatte milik Gio, karena minumannya sendiri sudah habis daritadi.
"Nih ya, lo gak bisa asal nuduh Gia kaya gitu. Mending lo kasih tau Gia. Terus ya, pas lo kangen, pasti perasaan lo bakal bertambah dengan sendirinya," kata Bobby dengan wajah bangga. "Tekadang, punya jarak dalam suatu hubungan juga punya sisi baik."
"Tumben lo pinter," ujar Gio.
"Ya, semua orang pasti bisa jadi pinter dan bisa jadi bodoh. Contohnya, pas lo sama Alana. Lo mau aja dibego-begoin dia," cerocos Bobby.
"Nah, kali ini gue setuju sama Bobby," gambah Jovi.
"Gak usah bawa-bawa Alana!" Gio terlihat sangat kesal.
"Siapa suruh punya mantan kaya gitu? Jujur aja ya, musuh gue di sekolah cuma Alana doang. Gak ada yang lain," kata Bobby dengan geleng-geleng kepala.
"Serah lo. Gue mau ngajak Gia buat ketemu sama bunda. Itung-itung buat liburan bareng gitu," putus Gio.
"Jangan lupa izin sama Arkan juga. Gue tau dia masih belum nerima lo. Soalnya Arkan paling gak suka ngeliat Gia deket dengan cowok kek lo. HAHAHAHA." Bobby langsung tertawa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Querencia [𝚃𝚊𝚖𝚊𝚝]
Fiksi Remaja"Lo itu kaya black hole, Gio! Gravitasi yang ada di dalam diri lo, bikin gue ketarik dan gak bisa lari lagi! Dan itu, secara perlahan bikin gue sakit." Air mata Gia terus saja keluar dari persembunyiannya. Sore ini keberuntungan tak berpihak pada Gi...