Di sudut ruangan yang mulai menggelap, air mata itu terus berjatuhan. Bagaskara menyelinap masuk di sela-sela jendela. Sayup-sayup isak tangis terdengar di ruangan yang penuh dengan rasa penyesalan.
Mata itu rasanya sudah tak sanggup mengeluarkan rinai air mata. Hati itu rasanya sudah tak sanggup lagi merasakan sakit yang tak berdarah.
Apa dia salah melangkah?
Kenapa rasanya keputusan itu mengakibatkan sakit yang luar biasa?
Apa dia harus menarik kembali ucapannya?
Apa waktu bisa diulang kembali?Dengan perlahan, sinar mentari di sore hari pun turun ke tempat persembunyiannya.
Meninggalkan kegelapan yang terus menyelimuti tubuh ringkih di sudut ruangan.Jari jeramari saling bertautan. Menekan satu sama lain, agar sang empu mulai tenang. Kepala terus tebenam di balik kaki yang tak pernah diluruskan kembali. Hanya itu tumpuan yang dapat membuatnya sedikit tenang.
Sudah dua hari sejak kejadian di taman. Namun keadaan Gia tak jua membaik. Dia terus menangis. Merasa bersalah. Menyesal.
Rasanya, dia ingin lenyap dari bumi ini. Ketukan pintu terus saja berdatangan. Bujukan demi bujukan juga terus menghujam telinganya.
Tetapi, Gia tak ingin menampakkan dirinya kepada dunia luar.
Gia menyandarkan kepalanya di tembok. Tangannya menjambak rambut-rambut yang mulai merontokkan dirinya. Air mata Gia hampir habis. Kepalanya sudah merasakan sakit.
Tidak makan. Dan juga tidak minum.
Jadi ini rasanya sedih karena meninggalkan orang yang berharga di dalam hidupnya?Katakanlah kalau Gia sekarang dibodohi oleh rasa cinta. Pesan dari orang lain yang menyuruhnya agar tak menyakiti diri sendiri pun, tak akan dia lakukan.
Dia yang memutuskan untuk pergi, dia jugalah yang sangat terpukul oleh permintaannya sendiri.
Tak apa, badai ini akan cepat berlalu. Menyisakan puing-puing bangunan yang hancur diterpa badai. Suatu saat nanti, waktu akan membersihkan puing-puing itu. Ntah berapa lama semuanya akan bersih dan kembali normal.
Sampai pada akhirnya tubuh Gia tak sanggup lagi menahan semuanya.
Tubuhnya ambruk dan kepalanya menyentuh lantai. Tangannya tak lagi bergerak. Hatinya tak lagi merasakan sakit. Sisa air matanya kemudian jatuh ke lantai.
༺❀༻
"Maaf gue baru cerita sekarang," ucap Gio dengan rasa bersalah.
Jovi memijat dahinya menggunakan jempol dan jari telunjuknya. Tak habis pikir dengan kelakuan Gio.
"Kenapa lo gak bilang, jangan pergi, jangan tinggalin, atau apalah itu yang bikin Gia gak pergi dari lo? Argh, kesel gue sama lo," omel Bobby.
Jovi menatap Gio dengan pandangan malas. "Jadi gimana perasaan lo setelah Gia ninggalin lo?" tanya Jovi.
"Sakit."
"Kalo udah tau sakit, kenapa lo biarkan dia pergi?" tanya Jovi lagi.
"Karena gue gak mau dia tersiksa sama gue. Lebih baik gue lepas dia," lirih Gio.
"Tolol." Hanya itu yang bisa Bobby ucapkan.
"Kapan lo berangkat ke Prancis?" Jovi bertanya.
"Seminggu lagi. Tunggu pengumuman kelulusan. Dan gue langsung berangkat," jawabnya.
"Alana kek gimana?" Giliran Bobby yang memberikan pertanyaan kepada Gio.
"Dia jauhin gue. Gue gak tau kenapa. Tumben aja gitu."
"Lo ngerasa kehilangan juga karena Alana menjauh?" tanya Jovi.
Gio menggeleng. "Gue santai aja kalo dia pergi. Tapi, Gia. Gue ngerasa kehilangan banget pas dia bilang mau jauhin gue."
"Itu hukuman buat lo," sungut Bobby.
Jovi pun bertanya, "Lo bakal ngabarin atau ketemu Gia dulu gak pas mau berangkat nanti?"
"Enggak. Gue gak mau ganggu dia," kata Gio.
"Arkan masih belum tau soal ini. Kalo dia tau, habis lo," kata Bobby.
"Gak papa, gue terima. Lagian ini salah gue juga karena menghianati kepercayaan dia."
"Ayah lo gimana?" tanya Jovi.
"Ayah? Dia keknya udah bisa nerima Gia."
"Tapi sayangnya Gia pergi dari lo," ledek Bobby.
Memang benar. Ucapan Bobby tak salah. Gia sudah pergi, saat ayahnya mulai menerima gadis itu.
༺❀༻
Arkan meneteskan air matanya. Jarang sekali lelaki bertubuh tinggi itu terlihat lemah dan meneteskan air mata.
Dia duduk di samping Shilla sambil menatap tembok putih di seberangnya.
Gia, panggilnya dalam hati.
Gadis itu kembali masuk rumah sakit.
Arkan terkejut saat melihat Gia yang tergeletak di lantai kamarnya.
Sore itu.
Arkan menggedor pintu kamar Gia. Namun, tak jua dibuka oleh si penghuni.Sudah setengah jam dia berusaha memanggil Gia. Tetap saja tak ada hasil.
Dia pun membuka paksa pintu Gia dengan bahunya yang kuat.
Dia mencari Gia dalam gelapnya kamar itu.
Saat dia melirik ke arah kiri, tubuh Gia sudah lemah tak berdaya.
Dia pun memanggil kedua orangtua Gia. Dengan panik dia berusaha menuruni tangga sambil menggendong tubuh Gia.
"Ma, Gia baik-baik aja 'kan?" tanya Arkan dengan air mata yang menggenang.
Shilla memeluk Arkan. "Gia gak akan kenapa-napa."
Tubuh Arkan langsung melemah sesaat dokter mengatakan Gia mengidap Crohn's Disease. Penyakit tersebut merupakan salah satu penyakit radang usus yang menyebabkan peradangan pada seluruh lapisan dinding sistem pencernaan.
Dan sekarang, Gia tengah berjuang di balik ruang operasi.
Arkan masih belum mengetahui penyebab Gia mengurung diri dan akhirnya muncul penyakit yang tak diinginkan.
Kalau dia tahu. Dia akan menghajar siapa pun yang sudah menyakiti Gia.
· · ─────── ·༺❀༻· ─────── · ·
VOTE-NYA DONG GAN!😾👉🏼👈🏼
✎ᝰCipaa༊*·˚
![](https://img.wattpad.com/cover/122712049-288-k246393.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Querencia [𝚃𝚊𝚖𝚊𝚝]
Novela Juvenil"Lo itu kaya black hole, Gio! Gravitasi yang ada di dalam diri lo, bikin gue ketarik dan gak bisa lari lagi! Dan itu, secara perlahan bikin gue sakit." Air mata Gia terus saja keluar dari persembunyiannya. Sore ini keberuntungan tak berpihak pada Gi...