"Gi, tolong dengerin gue dulu."
Gia menatap mata lelaki itu dengan pandangan yang sudah mengabur. Dia pun langsung berucap, "Apa lagi, Gio? Lo mau jelasin apa lagi?"
"Gue udah gak mau balikan dengan Alana. Dan gue cuma mau bales perasaan lo!"
"Gue udah bilang berkali-kali, gak papa lo gak bales perasaan gue ...," ucapan Gia terhenti karena air mata sudah membasahi pipinya.
"Maafin gue." Elgio tertunduk, ia tak sanggup melihat air mata Gia yang sudah keluar dari persembunyiannya.
"Kalo lo masih sayang sama Alana, gue ikhlas kok. Lagian posisi gue cuma sebatas sahabat. Dan sekarang, gue udah kelewatan batas. Gak seharusnya gue punya perasaan lebih sama lo," ucap Gia.
"Sebenernya gue gak niat memperlakukan Alana kaya kemaren, itu cum—" Gia langsung memotong perkataan Gio.
"Gak perlu dijelaskan. Gue udah tau kok. Lo sering denger, 'kan? Gak ada persahabatan cowok dan cewek itu bener-bener murni tanpa perasaan. Pasti ada salah satu yang nyimpen perasaan lebih. Dan, itu yang gue alami sekarang," kata Gia.
Ntah kenapa, taman sekolah sekarang mendadak sunyi. Sepi, tak ada satu pun yang berlalu-lalang. Angin berhembus dengan tenang. Seolah-olah ia ingin menenangkan gadis yang sedang menangis itu.
"Gue sayang sama lo," kata Gio, "mungkin, di lain hari, perasaan sayang gue bakal berubah jadi rasa suka sama lo."
"Gi, pada akhirnya lo harus milih siapa orang yang cocok dengan hati lo. Ntah itu gue, Alana, atau yang lain."
"Hati gue bilang, belum saatnya perasaan gue berubah menjadi hal yang lebih dari sekedar rasa sayang." Gio menatap Gia yang sedang menahan air mata.
"Sebuah rasa yang bersarang di hati gue, itu bikin gue sakit, Gio. Maka dari itu, lebih baik gue pergi dari hidup lo," ujar Gia.
Gia membelakangi Gio. Kakinya mulai bergerak meninggalkan Gio yang mematung. Tepat dengan langkah yang kedua ...
Settt
Tangan Gia ditarik oleh Gio. Sampai-lah Gia ke dalam pelukan Elgio. Gio membenamkan kepalanya di bahu Gia. Gadis itu hanya terdiam. Matanya kembali meneteskan air yang tak berdosa.
"Kenapa lo tega menyudahi semuanya? Bahkan, perjalanan kita baru aja dimulai. Lo suka sama gue karena waktu. Gue juga butuh waktu buat suka sama lo. Apa lo gak mau ngasih gue waktu?"
Gia melepaskan pelukan Gio. Dia tak mau orang lain melihat itu. Gadis itu menatap wajah Gio yang terlihat sangat sedih. Sepertinya lelaki itu benar-benar ingin merasakan hal yang sama dengan yang Gia alami.
"Gue gak suka bikin anak orang nangis. Gue bakal kasih lo waktu. Tapi, jangan paksa hati lo buat bales perasaan gue. Biar semuanya terjadi tanpa adanya paksaan." Jari-jari Gia menghapus jejak air mata Gio.
Tak banyak, namun ini terlihat bahwa Gio sangat takut Gia pergi. Air mata yang sangat jarang Gio keluarkan. Katakan-lah bahwa Gio anak yang cengeng. Karena itu benar adanya. Lelaki itu sangat takut kehilangan. Maka dari itu, air mata-lah yang akan berbicara.
Baiklah, ini awalan dari sebuah kisah yang panjang. Gia tau, di dalam cerita pasti ada tokoh antagonis. Gia menganggap tokoh antagonis itu adalah hatinya sendiri. Sedangkan yang lain? Mungkin akan bisa Gia atasi.
"Kita jalanin aja kaya kemaren-kemaren. Di mana, posisi gue sebagai sahabat lo. Dan, sebaliknya," kata Gia yang dibalas anggukkan oleh Gio.
༺❀༻
Di sisi lain, lelaki yang sedang berjalan sambil meminum sebuah susu kotak berhenti seketika. Matanya melihat pemandangan yang membuat hatinya sedikit nyeri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Querencia [𝚃𝚊𝚖𝚊𝚝]
Roman pour Adolescents"Lo itu kaya black hole, Gio! Gravitasi yang ada di dalam diri lo, bikin gue ketarik dan gak bisa lari lagi! Dan itu, secara perlahan bikin gue sakit." Air mata Gia terus saja keluar dari persembunyiannya. Sore ini keberuntungan tak berpihak pada Gi...