Ajeng pulang malam harinya. Tubuhnya lemas bukan hanya karena kelelahan, tapi juga karena kenyataan yang baru saja dia dapat.
Kanker otak stadium dua.
Bagaimana bisa penyakit mengerikan itu bersarang ditubuhnya sekian lama. Dan Ajeng sama sekali tidak mengetahuinya. Hingga hari ini.
Ajeng mengendalikan dirinya agar tidak mengangis.
"Baru pulang kamu? Ini jam berapa Ajeng."
Suara tegas milik Ayahnya membuat Ajeng terlonjak kaget. "Papa?" bukankah Ayahnya keluar kota hari ini? tapi kenapa dia masih dirumah?
"Papa di rumah?"
"Iya, kenapa? Kamu selalu pulang jam segini? Ajeng kamu itu perempuan, pulang malam itu nggak baik, kamu tahu."
"Maaf, Pa. Ajeng harus ngerjain tugas dulu di rumah temen." Ajeng menundukkan kepalanya dalam.
"Bukan berati kamu jadi lupa waktu dan nggak ngabarin orang rumah. Kalau kamu kenapa-napa di luar sana sedangkan kamu nggak ngasih tahu, gimana?!" Mario membentak Ajeng dengan keras. Tapi bukannya takut ataupun sedih, Ajeng justru merasa senang.
Dengan begini dia tahu Ayahnya masih peduli padanya.
Senyum kecil tersungging dibibir nyaris pucat milik Ajeng yang masih menundukkan kepalanya.
"Sekarang masuk kekamar kamu." Terintah Mario dingin.
"Iya Pa."
Mario menatap punggung Ajeng yang menjauh darinya. Laki-laki berusia hampir setengah abad itu mengusap wajahnya lelah. Seharian ini perasaannya tidak menentu,dia dilanda perasaan khawatir yang amat sangat. Mario sempat menghubungi istrinya menanyakan kabar Angel, tapi gadis sulungnya itu baik-baik saja.
Hingga akhirnya dia teringat pada si bungsu. Mario membatalkan kepergiannya kebali dan memutuskan pulang kerumah sore hari. Tapi dia mendapati rumahnya kosong. Ajeng baru pulang kerumah saat waktu menunjukan pukul tujuh malam.
Laki-laki dewasa itu marah bukan karena Ajeng pulang terlambat, melainkan karena perasaan khawatir yang menggerogotinya. Dan ketika melihat Ajeng, Mario tidak bisa menahan amarahnya lagi. Tapi setelah meluapkan amarahnya perasaan menyesal yang menggelayutinya sekarang.
"Ajeng." Lirihnya penuh penyesalan.
***
Sejak kemarin malam ternyata Ibu dan Kakaknya tidak pulang, mereka menginap dirumah Neneknya-ibu dari Mario.
Ajeng bersiap-siap dengan seragam dan juga tasnya, saat akan mengenakan sepatu, tiba-tiba Ajeng merasakan sengatan rasa sakit pada kepalanya. Matanya mulai berkunang-kunang, Ajeng mencengkram rambutnya kuat. Nafasnya mulai tersendat-sendat keringat dingin mulai mengucur dileher juga pelipisnya.
Rasa sakit kali ini lebih dari pada yang waktu itu. Seakan ada palu godam yang menghantam kepalanya berulang kali.
"Arghh, auw..." rintihan kecil mulai keluar dari cela bibirnya.
Ajeng menunduk dalam saat pintu kamarnya diketuk tiga kali.
"Ajeng, kamu nggak sarapan?" itu suara Ayahnya.
Ajeng menarik nafasnya dan menghembuskannya perlahan, rasa sakit dikepalanya benar-benar tak tertahankan.
"Ajeng?"
Dengan menahan rasa sakit Ajeng menjawab, "Iya Pa, Ajeng keluar sebentar lagi." Ajeng lagi-lagi mencengkram rambutnya. Wajahnya mulai pias, perlahan-lahan dia mulai merasa pandangannya buram.
KAMU SEDANG MEMBACA
|| BOOK THREE : Yudjeng || Pasien No.25 (Complete)
General Fiction# SUDAH TERBIT DALAM BENTUK EBOOK dan tersedia juga di PLAY STORE/PLAYBOOK # Ajeng hanya seorang gadis biasa yang hidup di antara kasih sayang orang tua yang berlimpah, untuk Kakaknya. Dia memiliki seorang kekasih yang lembut dan perhatian, pada sah...