Bab 3. 03

725 121 22
                                    

Mobil porsche carrera hitam itu menderu halus di jalanan. Brian mengemudi dengan tenang, matanya memandang teliti jalanan padat merayap ibu kota. Satu hal yang membuat Brian tak betah tinggal di kota ini, macet. Menghabiskan waktu berjam-jam bukan hal yang menyenangkan, belum lagi mendengar suara klakson dan teriakan orang-orang. Hei, jalan ini nggak akan jadi lancar kalo kalian teriak-teriak begitu.

Hela nafas lega keluar dari mulutnya setelah mobilnya berhenti di pelataran parkir rumah sakit. Tubuh tinggi tegapnya berjalan dengan angkuh, wajahnya tampan tak menunjukkan ekspresi apapun selain kebekuan.

Brian hari ini berniat untuk menemui Dokter Amran, selaku wakil ketua yayasan rumah sakit sekaligus Dokter senior yang juga guru Kakaknya.

Tapi langkahnya terhenti saat mendengar kegaduhan yang terdengar dari arah taman saat ia harus melewati jalan setapak. Salah satu dari suara itu, dia seperti pernah mendengarnya.

"Kalian ngebohongin Ajeng. Gimana kalo dia sampai tahu, dia pasti kecewa banget."

Itu Karina. Gadis yang memiliki suara nyaring.

"Gue bakal kasih tahu Ajeng. Gue nggak mau tahu, Ajeng harus tahu semuanya."

Sedangkan itu Vitha, si gadis modis dan angkuh.

"Jangan Vit. Kalo pun Ajeng harus tahu, itu harus dari aku atau Yudha."

Dan satu suara lagi yang tak Brian kenali.

Sambil meyakinkan diri bahwa ia tak menguping, melainkan tidak sengaja mendengar, Brian menyandarkan tubuhnya pada pilar besar yang menutupi tubuhnya dari jangkauan mata gadis-gadis itu.

"Kalo gitu kasih tahu dia, lo pikir enak dibohongin kayak gini. Ajeng selama ini selalu berfikir Yudha baik sama lo karena lo itu sahabatnya, tapi ternyata apa. Elo sama Yudha Cuma nipu dia, lo nggak mikirin perasaan Ajeng."

"Kamu nggak perlu khawatir, Yudha udah ngambil keputusan. Dia akan ngelawan Papanya, dia mau batalin pertunangan kami."

"Kenapa baru sekarang? Kenapa...."

Brian rasa cukup. Laki-laki itu pergi dari tempatnya. Dari pembicaraan penuh emosi ketiga gadis itu, Brian cukup paham pokok masalah seperti apa yang sedang mereka perdebatkan.

Ajeng. Satu nama itu tiba-tiba merasuk dalam kepalanya. Gadis bersurai coklat keemasan itu, sebenarnya apa istimewanya? Dia hanya seorang gadis biasa pengidap kanker otak. Iya kan?

"Selamat siang Dokter Amran." Brian memasuki ruangan Dr. Amran setelah mendapat izin.

"Brian, bagaimana kabarnya. Terakhir kita bertemu tiga tahun yang lalu kan."

"Baik Dok. Ya, sudah lama ya."

mereka berjabat tangan, bernostalgia sejenak sebelum Brian mengatakkan tujuannya datang pada Dr. Amran. "Jadi Dok, Kakak saya bilang Dokter yang menyimpan hasil pemeriksaan terakhir Ajeng, bisa saya lihat itu?"

"Oh ya, hasil pemeriksaan pasien nomor 25?"

"Benar."

"Tunggu sebentar."

Dr. Amran membuka lemari berkasnya, dia mengambil sebuah mab merah yang tersimpan rapi. Tangan yang mulai keriput itu menyerahkan dokumen yang berisi hasil pemeriksaan terakhir milik Ajeng pada Brian.

"Ini. Itu hasil pemeriksaan terakhirnya bersama Kakakmu."

"Terimakasih Dokter." Brian meneliti setiap deret tulisan. Keningnya mengerut, tanda betapa seriusnya ia kini.

Sudah separah ini. Tapi kenapa gadis itu masih tampak baik. Jika ini orang lain, sudah pasti tidak bisa melakukan apapun lagi. Tapi bahkan gadis itu sempat mengikuti kegiatan sekolahnya hingga beberapa saat.

|| BOOK THREE : Yudjeng || Pasien No.25 (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang