Dalam setiap cobaan, selalu ada hikmah. Maka dari itu akan jadi jauh lebih baik jika kita tidak berburuk sangka pada Sang Pencipta.
Ajeng mempercayai petuah itu, dan hari ini ia membuktikan kebenarannya.
Sudah sejak satu jam yang lalu ia duduk dengan patuh, membiarkan Karina dan Vitha mendandaninya, menata rambut, memoles wajahnya dengan riasan sederhana, memilihkannya baju. Ajeng heran, dari mana kedua gadis itu mendapatkan semua barang ini? dan, apa boleh membawa peralatan salon ke rumah sakit? Ajeng harap mereka tidak akan mendapat masalah setelah ini.
"Nah, pake ini." dengan semangat Karina menyodorkan dress lengan pendek berwana kuning pada Ajeng. Ajeng hampir menerimanya saat Vitha menyambar dress itu dengan kecepatan cahaya.
"Lo gila ya. mereka mau ngedate, bukan dangdutan." Semprotnya. Mata Vitha yang memang sudah bulat seakan akan keluar dari rongganya saat gadis itu melotot.
"Emang kenapa. Itu lucu tahu." Karina berdecak pinggang. Wajahnya sengit, penuh permusuhan.
"Lucu dari mananya. Lo liat dong, masa Ajeng mau ngedate pake dress warna ngejreng gini."
"Warna kuning itu simbol keceriaan. Bagus tahu."
"Iya bagus, seandainya Ajeng make ini buat acara party. Tapi ini ngedate Karina, ngedate."
"Ya terus, emang lo punya pilihan yang bagus gitu?"
"Ada dong. Ini." di tangan Vitha, dress merah maron dengan tali spageti. Dress itu tampak dewasa dengan warna dan modelnya.
"Ih, itu sih kayak tante-tante. Udah, yang bagus tu pilihan gue."
"Punya gue."
"Gue."
"Gue."
"Gue."
"Gue."
Ajeng menghela nafasnya. Kapan dua orang di depannya ini akan berhenti. Sejak tiga jam setelah Yudha menghubunginya memberitahu, yang membuat Ajeng tidak menyangka, jika Dr. Brian memeberi mereka ijin untuk keluar. Saat itu juga Vitha dan Karina kompak pergi meninggalkannya, lalu beberapa saat kemudian kembali dengan membawa semua barang ini.
Ajeng melihat gantungan baju yang berada tidak jauh darinya. Sebenarnya, sejak Vitha mendorong masuk gantungan berisi dress-dress cantik itu, ada satu dress yang menarik perhatiannya.
"Udah deh, dari pada ribut, mending kita tanya Ajeng. Dia mau pake pilihan gue apa pilihan lo. Kan dia yang mau ngedate, dia yang lebih berhak." Vitha memutuskan yang disetujui oleh Karina.
"Ajeng?" panggilan Vitha membuatnya terlonjak kaget. "Lo kenapa?"
"Nggak kok, nggak papa. Kenapa Vith?"
"Gini, lo pilih punya gue apa punyanya Karina? Saran gue pake punya gue aja."
"Nggak Jeng, pake punya gue aja."
Ajeng menggaruk pipinya bingung, sesekali matanya melirik pada gantungan baju. "Eh, kalau gue pilih sendiri boleh nggak?" Ajeng bicara dengan hati-hati, takut menyinggung perasaan mereka. Bagaimana pun juga mereka sudah mau repot-repot untuknya.
"Oh, lo punya pilihan sendiri? Yang mana?" Vitha meletakkan dress pilihannya di atas meja begitu saja. Lalu menarik gantungan baju mendekat.
"Yang mana Jeng?" Karina juga melakukan hal yang sama.
Ajeng menggaruk lehernya salah tingkah. Dia menunjuk dress yang telah menarik perhatiannya. "Yang ini."
"Wah, gue sampai nggak sadar sama yang ini." Vitha menarik keluar dress itu. "Yah, ini sih lebih bagus dari pilihan gue sama Vitha."
"Sejak lo bawa gantungan baju ini masuk, gue udah liat dress ini."
"Iya. Ok kalau gitu, lo fix pake ini ya. Yudha jemput lo jam berapa?"
Ajeng menatap jam dinding, "kurang lebih setengah jam lagi." Ucapnya saat melihat waktu menujukan pukul 4 : 35.
"Yaudah Jeng, buruan ganti baju lo. Biar gue sama Vitha yang beresin ini." Karina mendorong punggung Ajeng masuk ke kamar mandi.
"Eh, Karina, Vitha. Makasih udah bantuin gue." Ajeng berdiri di ambang pintu kamar mandi.
Vitha mengibaskan tangannya di udara. "Udah, kayak gini aja lo bilang makasih."
"Iya, kayak gini mah kecil buat kita Jeng. Nggak usah bilang makasih segala."
"Mending sekarang lo buruan ganti baju, nanti keburu Yudha dateng loh."
"Iya, buruan-buruan."
"Iya. Gue ganti baju dulu."
Ajeng menghilang di balik pintu kamar mandi. Karina membalik tubuhnya menghadap Vitha. "Kita mau kayak tadi lagi?" dia bicara dengan berbisik. "Nggak ada cara lain. Nanti kalau ketahuan bisa dimarahin." Vitha juga melakukan hal yang sama. Karina mengangguk paham. "Udah buruan bungkus semuanya."
***
Kamarnya sekarang sepi, hanya ada dia seorang diri. Vitha dan Karina telah pulang beberapa saat lalu. Ditinggal seorang diri seperti ini membuat Ajeng sadar, sebesar apa gugup yang dia rasakan.
Dua tahun menjalin hubungan yang dingin bersama Yudha memebuat Ajeng terbiasa menghadapi sifat dan sikap acuh Yudha. Dia tak pernah menginginkan apa lagi bermimpi hubungan mereka akan sama seperti pasangan selayaknya. Karena bagi Ajeng semuanya sudah cukup, dia tak menginginkan lebih. Tapi hari ini, mereka akan pergi keluar bersama, seperti yang pasangan lain lakukan ketika hari libur. Jika Vitha dan Karina dapat menyebutnya ngedate dengan lancar, berbeda dengan Ajeng. Lagipula Yudha hanya bilang akan mengajaknya pergi keluar, dia tidak menyebut ngedate atau yang sebangsa seperti itu.
Ajeng memandangi jam dinding. Yudha mengatakkan pukul 5 tepat, itu artinya lima menit lagi. Karena itu jantung Ajeng berdetak makin cepat, setiap detik berlalu, bertambah cepat pula detakkan jantungnya.
Ketika pintu diketuk tiga kali, Ajeng bangkit dari duduknya, mengibas rok pada dressnya seakan menghilangkan noda, yang sebenarnya tidak ada sama sekali. Dia menanti dengan detakkan jantung yang blingsatan. Namun ketika pintu itu terbuka, bukan Yudha yang berada di baliknya.
"Maaf, om siapa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
|| BOOK THREE : Yudjeng || Pasien No.25 (Complete)
Fiction générale# SUDAH TERBIT DALAM BENTUK EBOOK dan tersedia juga di PLAY STORE/PLAYBOOK # Ajeng hanya seorang gadis biasa yang hidup di antara kasih sayang orang tua yang berlimpah, untuk Kakaknya. Dia memiliki seorang kekasih yang lembut dan perhatian, pada sah...