Bab 5. 05

896 121 13
                                    

Brian memang tidak seharusnya gegabah. Hanya karena kondisi Ajeng stabil tiga hari ini bukan berati gadis itu telah sembuh.

Bodoh.

Brian merutuki dirinya sendiri sambil mengemudi dengan kecepatan penuh. Berkali-kali Brian melihat Ajeng yang terbaring tak sadarkan diri di kursi belekang. Laki-laki itu menambah kecepatan saat cahaya dari lampu-lampu kota terlihat. Peduli setan jika ia nanti dikejar polisi.

Dalam debaran jantung yang makin menggila, Brian mengingat sisa hari kemarin. Ajeng masih tampak baik-baik saja, tidak ada gurat kelelahan atau tanda bahwa ia akan kambuh. Justru sebaliknya, Ajeng terlihat sehat saat bermain dengan anak-anak. Brian bahkan masih bisa mendengar suara tawa gadis itu di telinganya.

"Bertahan, sedikit lagi. Sedikit lagi." Brian menginjak pedal gas sedalam-dalamnya.

***

Entah kenapa malam ini ia semakin parah. Terhitung sudah lebih dari lima hari ia tak bertemu dengan Ajeng. Yudha menghela nafasnya dengan berat. Matanya masih menatap nyalang langit-langit kamar kosnya, padahal ini sudah menjelang pukul 2 dini hari, dia tiba-tiba saja teringat pada Ajeng. Ya walaupun setiap saat wajah gadis itu memang selalu menghiasi otaknya, tapi kali ini lebih parah.

Yudha menyingkap selimut tipis yang membungkus tubuhnya. Dia melihat makas yang berada di samping tempat tidur, tangannya meraih handphonenya dengan cepat. Saat menekan tombol power, yang pertama kali ia lihat saat layar hitam itu menjadi terang adalah Ajeng.

Foto yang Yudha ambil diam-diam saat Ajeng tidur di rumah sakit.

"Tinggal dua hari lagi." Jempol pemuda itu mengelus layar handphonenya lembut. Tapi kerinduan yang kini bercampur dengan kerisaun itu tak menghilang sedikitpun, justru sebaliknya.

Yudha mengusap wajahnya dengan kasar. "Kenapa sih? Perasaan gue nggak enak banget dari tadi."

Dia kembali menjatuhkan tubuhnya pada ranjang. Lagi-lagi, menatap langit-langit kamarnya menerawang. "Lo ggak papa kan?" hanya ada detak jam dinding yang terdengar. "Semoga lo baik-baik aja."

Akhirnya, Yudha baru tertidur saat matahari hampir menampakkan sinarnya.

***

Derap langkah kaki menggema di lorong rumah sakit yang mulai sepi. Tepat pukul 4 pagi mereka mendapat kabar jika Ajeng tiba-tiba colab. Tanpa membuang waktu Mario dan Marisa datang ke rumah sakit.

"Suster! Bagaimanaa keadaan anak saya?!"

Marisa menghadang jalan salah seorang suster yang baru saja keluar dari ruang ICU dengan tergesa.

"Maaf bu, tapi saya belum bisa menjelakan. Permisi." Suster itu pergi, setengah berlari ia melewati lorong rumah sakit.

"Tapi... suster! Anak saya?!"

"Risa, kamu tenang dulu." Mario menahan Marisa yang akan menyusul kemana suster itu pergi.

"Gimana aku bisa tenang! Anak kita, Ajeng sekarang lagi ada diantara hidup dan mati! Gimana aku bisa tenang, Rio!"

"Aku tahu! Aku juga ngerasain apa yang kamu rasain! Tapi kalau kita kayak gini itu nggak menyelesaikan masalah sama sekali! Justru kita akan menghabat mereka!" dada Mario kembang-kempis, emosi yang bercampur aduk di hatinya saat ini nyaris membuatnya gila. Dia ketakutan, sama seperti yang Marisa rasakan. Tapi bersikap egois saat ini bukanlah pilihan. Mereka hanya bisa pasrah sekarang, menyerahkan semuanya pada yang lebih ahli. Dan yang paling penting, pada Tuhan.

Marisa nyaris jatuh terduduk jika Mario tidak dengan segera menahan tubuhnya. Lak-laki dewasa itu menarik tubuh ringkih Marisa duduk di kursi tunggu depan ruang ICU.

|| BOOK THREE : Yudjeng || Pasien No.25 (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang