Ajeng menggigit kukunya dengan gelisah. Sudah sepuluh menit lewat, tapi dua laki-laki beda generasi itu belum juga kembali. Mereka nggak berantem kan? Ajeng semakin gelisah di tempatnya. Apa lagi ketika mengingat wajah super serius ayahnya tadi. Ini gawat.
Pelan-pelan Ajeng mulai turun dari ranjangnya, kakinya sempat goyah saat menginjak lantai rumah sakit yang dingin. Tapi Ajeng berhasil berdiri tegap kemudian, dia berjalan pelan-pelan keluar dari kamar. Beruntung Ajeng sudah tidak lagi diinfus, dia jadi tak perlu repot-repot menyeret tiang infusnya.
"Mereka kemana ya?" Ajeng melesatkan pandangannya ke sekeliling, tapi tak melihat keberadaan ayah juga sang kekasih.
Ajeng terus berjalan di sepanjang lorong rumah sakit, sesekali tangannya menaikan lengan baju rumah sakit yang kebesaran di tubuh kecilnya. Tanpa sadar Ajeng keluar dari area gedung, kakinya malah membawa gadis itu berjalan di jalan setapak menuju danau.
"Mereka kemana sih? Ilang." Lelah membuat Ajeng duduk di bangku taman yang pernah Yudha duduki dulu saat mereka ke sini.
"Udah mau malem ternyata." Ajeng melihat langit yang mulai berubah warna, gradasi warna kuning, jingga dan merah yang berpadu indah mulai memenuhi langit.
"Cantiknya." Ajeng melupakn niat awalnya mencari Mario dan Yudha, dan malah terpaku pada keelokan langit sore hari itu.
"Ajeng." Hingga sebuah suara terdengar dari sampingnya.
"Dr. Biran?"
"Ngapain kamu di sini. Seharusnya kamu ada di kamar."
"Oh," ini gawat. "itu dok, saya lagi nyari papa sama Yudha." Apa Ajeng sudah pernah bilang, meskipun Dr. Brian terlihat seperti prince charming dia itu memiliki tatapan mata yang tajam. Lebih parah dari tatapan dingin Yudha, atau tatapan tegas ibunya. Ajeng selalu merasa kepalanya bisa berlubang sewaktu-waktu karena tatapan orang itu.
"Buat apa kamu nyari mereka?"
"So..soalnya mereka nggak balik-balik, saya khawatir." Ajeng mulai gugup.
"Nggak sadar diri." Brian memasukkan tangannya ke dalam saku jas kebanggaannya.
"Apa?"
"Kalau mereka balik ke kamar kamu dan lihat kamu nggak ada di kamar, siapa yang bikin khawatir siapa?"
Bisakah dia tidak menunjukan wajah menyebalkan seperti itu. Ajeng jadi kesal sendiri melihatnya. "Ya udah kalau gitu, saya permisi."
Sore hari telah berlalu, yang tersisa sekarang hanya gelapnya malam. Suara jangkrik dan binatang malam yang lain mulai terdengar. sesaat sebelum Ajeng sempat melangkahkan kakinya kembali ke kamar, dia melihat danau dan sekali lagi terpaku. Bulan purnama yang muncul malam ini membuat cahaya putih kebiruannya memantul di atas air danau yang tenang, dan cahaya itupun menyinari bunga teratai yang perlahan-lahan mulai menguncup.
"Astaga, cantiknya."
Mendengar gumaman gadis itu dan mengikuti arah pandangannya, membuat Brian paham.
"Bunga teratai jadi simbol kemurnian dan kebangkitan bagi beberapa umat beragama di cina dan india."
Ajeng mengalihkan pandangannya pada Dr. Brian. Apa laki-laki itu, bicara padanya.
"Di india bunga yang memiliki mahkota banyak digunakan di beberapa ritual upacara keagamaan. Bunga dengan mahkota yang menakjubkan memang kebanyakan digunakan sebagai hiasan untuk upacara dan perayaan keagamaan. Hal yang sama juga berlaku untuk bunga teratai. Sedangkan di cina, bagi penganut agama hindu dan buddha bunga teratai menjadi simbol kebangkitan karena pada malam hari bunga teratai akan menguncup dan akan mekar kembali setelah terkena sinar matahari pertama. Selain itu, bunga teratai juga jadi lambing sebuah kemurnian karena meskipun tumbuh di lumpur, ia tetap mekar dengan cantik tanpa noda."
KAMU SEDANG MEMBACA
|| BOOK THREE : Yudjeng || Pasien No.25 (Complete)
General Fiction# SUDAH TERBIT DALAM BENTUK EBOOK dan tersedia juga di PLAY STORE/PLAYBOOK # Ajeng hanya seorang gadis biasa yang hidup di antara kasih sayang orang tua yang berlimpah, untuk Kakaknya. Dia memiliki seorang kekasih yang lembut dan perhatian, pada sah...