Bab 4. 01

745 140 11
                                    

Yudha memakir motornya di pelataran parkir. Hari mulai menjelang sore saat ia menginjakkan kakinya di rumah sakit. Pemuda tujuh belas tahun itu membawa sebuah bungkusan plastik di tangan kanannya, sedangkan tangan kirinya ia masukkan ke dalam saku celana. Tubuh tinggi dengan gaya berjalan yang cuek, aura dingin nan misterius di sekelilingnya, membuat perhatian beberapa gadis hingga suster tercuri. Belum lagi penampilannya, celana jeans dan kaos hitam polos dan kemeja biru tua yang sengaja tak dikancingkan. Dari pada terlihat seperti anak sma, Yudha lebih terlihat seperti anak kuliahan.

Langkah kaki Yudha melamban sesaat ketika obrolan tiga orang suster tak sengaja ia dengar.

"Iya, pasien di kamar teratai itu hampir kritis tadi. Dia bahkan belum sadarkan diri samapai sekarang."

"Ya ampun kasian ya. padahal dia masih muda, tapi dia harus hidup dengan penyakit kayak gitu. Siapa sih namanya?"

"Kalau nggak salah, namanya Ajeng."

Ajeng.

Secepat ia mendengar nama itu, secepat itu pula Yudha berlari ke kamar rawat Ajeng. Mengabaikan larangan berlari di koridor, Yudha terus memacu kakinya.

Nafasnya kembang-kempis sesaat setelah Yudha berdiri di depan pintu kamar rawat Ajeng. Tangannya bergetar saat akan meraih handel pintu, jantungnya berpacu lebih cepat, entah karena ia baru saja berlari atau karena hal lainnya.

Tapi, sebelum Yudha berhasil meraih handelnya, pintu itu telah terbuka dari dalam. Brian yang berdiri di depannya. Siapapun yang berdiri diantara kedua laki-laki itu pasti dapat merasakkannya, aura persaingan, bagaikan dua kutub yang berlawanan tapi juga saling menarik untuk saling menghancurkan.

"Maaf, tapi Ajeng nggak bisa dijenguk untuk sementara waktu." Brian yang tenang, menggunakan jas kedokteran putih dan stetoskop yang menggantung di lehernya.

"Gue nggak minta ijin sama lo." Yudha meredam bara api yang mulai tersulut di dadanya. Dia benar-benar tidak menyukai orang ini. Topeng ramahnya itu, Yudha muak melihatnya.

"Ajeng nggak bisa dijenguk, dia harus istirahat." Brian tersenyum tipis, tak bergerak seinci pun dari tempatnya.

"Minggir." Yudha sudah memutuskan untuk menjadi anak pembangkang, jadi ia tak ingin tanggung-tanggung.

Keras kepala. "Lo itu tuli ya," tapi Brian bisa lebih keras kepala. "Ajeng nggak bisa dijenguk, dia harus istirahat."

"Gue bilang minggir!"

Yudha merenggut kerah kemeja Brian, siap melayangkan satu tinju seandainya sebuah suara tidak menghentikannya.

"Hei!" Mario melangkah panjang menghampiri dua orang itu. Dia menarik Yudha dan Brian menjauh. "Apa-apaan ini. kalian tahu ini di mana, rumah sakit bukan ring tinju."

"Maaf om, tapi Ajeng harus istirahat tapi orang ini memaksa masuk." Brian menunjuk wajah Yudha.

"Gue Cuma mau ngeliat keadaan Ajeng, apa salahnya!" Yudha menepis tangan Brian dengan kasar.

"Eh bocah."

"Apa!"

"Stop!! Kalian Cuma bikin Ajeng nggak bisa istirahat kalau berisik kayak gini." Mario menengahi sekali lagi, sesaat sebelum Yudha dan Brian saling mendekat.

Orang-orang yang berlalu-lalang di depan ruang rawat Ajeng mulai tertarik melihat keributan yang ada. Mario yang menyadari itu mengambil keputusan. "Lebih baik kita masuk. Nggak enak dilihat orang. Tapi kalian harus tenang, termasuk kamu." Mario menatap Yudha tegas. Pemuda itu mengangguk pelan. Apa saja, asal ia bisa melihat kondisi Ajeng sekarang juga.

|| BOOK THREE : Yudjeng || Pasien No.25 (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang