Bab 3. 05

741 133 9
                                    

Perasaan bahagia yang akhir-akhir ini sering Ajeng rasakkan membuat Ajeng merasa lebih baik. Dia bahkan berfikir minggu depan bisa memulai lagi kegiatan sekolahnya seperti biasa. Sampai kemudian, pagi itu datang, diawali dengan Ajeng yang merasakkan sakit kepala hebat. Lebih parah dari yang pernah ia rasakkan sebelumnya.

Mario duduk di kursi tunggu depan ruang rawat Ajeng. Dia mencengkram kepalanya dengan kedua tangannya, "Akh... sakit!!" keningnya mengernyit seakan ikut merasakkan apa yang Ajeng rasakkan di dalam sana.

Apa, sesakit itu?

Mario mengingat saat Ajeng masih berusia tujuh tahun. Gadis kecil yang belajar mengendarai sepeda seorang diri, terjatuh berulang kali hingga kaki dan sikunya terluka. Tapi ia tak pernah menunjukkan lukannya, dia selalu menyembuhkan lukanya seorang diri.

"Nggak sakit kok, Ajeng nggak papa."

"Sakit!! Arghhh... sakit!"

"Tadi udah Ajeng obati, nggak sakit."

"Akh... argghhh... sakit! Sakit!! Stop! Sakit! Arghhh...!!"

Apa yang bisa Mario lakukan? dia akan melakukan apapun. Seseorang tolong katakkan, apa yang bisa Mario lakukan untuk putri kecilnya.

"Papa!" Marisa berjalan, setengah berlari, menghampiri Mario yang masih terduduk dengan yang mencengkram erat rambutnya. "Ajeng, gimana keadaannya!?" Marisa menggoyangkan bahu suaminya. "Pa, kenapa diem aja! Gimana keadaan Ajeng!? Dia nggak papa kan? Papa jangan diem aja! Jawab!!" tanpa Marisa sadari air mata telah mengalir di pipinya.

"Kenapa kamu peduli?" Mario memandang lantai rumah sakit dengan kosong.

"Apa?" apa yang Mario coba sampaikan?

"Selama ini, dia selalu bisa mengobati lukanya sendiri kan. Lalu, untuk apa sekarang kita peduli? Kenapa baru sekarang kita peduli?"

Terkadang, sesuatu yang terlihat biasa bagi kita akan terlihat tak biasa setelah kita tak lagi memilikinya. Seperti rambut panjang yang terasa tak nyaman, tapi saat rambut panjang itu kita potong, rasannya seperti ada yang hilang.

Ajeng terbaring lemah tak sadarkan diri, masker oksigen dan peralatan penunjang kehidupan yang lain melekat di tubuh mungilnya.

Satu jam setelah melewati masa krisis kondisi Ajeng mulai kembali normal. Mario duduk di samping putrinya, matanya kosong, dia menatap wajah Ajeng yang pucat pasi. Gurat kelelahan terlihat di wajahnya sekalipun gadis itu tengah memejamkan mata.

Nit...

Nit...

Nit...

Suara monitor yang terhubung pada tubuh Ajeng, menandakan bahwa gadis itu masih ada di dunia ini. Syukurlah. Mario memejamkan matanya dan menarik nafas sepanjang mungkin. Rasanya nyesakkan setiap kali mengingat kejadian satu jam yang lalu, teriakkan kesakitan Ajeng pun terasa masih terngiang di telinganya. Tapi semua sudah baik-baik saja. Iyakan?

Ceklek...

Suara pintu yang terbuka tak membuat Mario mengalihkan pandangannya.

Dr. Brian, dengan jas putih kedokteran dan kaca mata beningnya melangkah dengan langkah sunyi. "Pak Mario." Sapa Brian setelah sampai di belakang laki-laki itu.

"Bagaimana keadaan Ajeng, dokter?" ucapnya, sekali lagi tanpa mengalihkan pandangannya dari putrinya.

Brian melihat punggung seorang ayah yang berusaha tegar di balik duka. Tapi, apapun yang dirasakkan oleh Mario saat ini, sudah menjadi sebuah kewajipan bagi Brian untuk menyampaikan berita tentang kondisi Ajeng saat ini.

|| BOOK THREE : Yudjeng || Pasien No.25 (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang