Bab 5. 04

617 110 7
                                    

"Kita mau kemana?"

Itu adalah pertanyaan yang 19 kali sejak mereka berjalan keluar dari rumah sakit. Dan sejujurnya Brian mulai bosan mendengarnya.

"Bisa kamu diem. Nanya mulu dari tadi."

"Kalau dokter mau saya diem, kasih tahu kita mau kemana."

"Nanti juga kamu tahu. Jadi sekarang, diem."

Mobil membelok dengan mulus. Jajaran pepohonan di samping kiri dan kanan terlihat seperti berlarian seiring dengan laju mobil.

"Dokter ngelarang Yudha ketemu saya karena dia bawa saya keluar dari rumah sakit, eh sekarang dokter sendiri yang bawa saya keluar dari rumah sakit. Situ sehat." Persetan dengan sopan santun, laki-laki yang mengemudi di sampingnya ini benar-benar menyebalkan.

Dia masih saja mengingatnya. Brian mendengus. "Ini beda. Yang bawa kamu keluar kan saya, lebih terjamin keamanannya."

Terjamin mbahmu. Untungnya Ajeng masih bisa sedikit menahan diri. "Udah sih dok, kasih tahu kita mau kemana? Apa susahnya."

"Ok. Kamu mau tahu kita kemana?"

"Iya."

"Lihat ke depan sekarang."

Entah sejak kapan mobil ini berhenti. Di depannya sana, rumah yang mirip dengan pondokan berdiri dengan anggun. Berlatar belakang hutan pinus, Ajeng seakan terlempar ke sebuah negeri dongeng yang pernah ia baca sewaktu kecil. Rumah itupun mengingatkannya pada Putri salju dan teman-teman kurcacinya.

"Wah." Tanpa sadar Ajeng berdecak kagum.

Brian yang melihat itu tersenyum miring. Tanpa sadar membanggakan dirinya sendiri dalam hati karena dapat membuat gadis itu berdecak kagum.

Ha ha ha, your the best bro. As always.

"Mau diem aja di sini atau turun."

"Eh, iya. Turun." Dengan cepat Ajeng membuka pintu mobil, bahkan tanpa menunggu Brian yang berjalan di belakangnya Ajeng telah lebih dahulu melangkah dengan langkah-langkah kecil, menuju rumah dengan bahan dasar kayu yang indah itu.

Ajeng berhenti di halaman rumah. Rumput hijau segar, yang sebagian masih berkilau oleh embun, Ajeng ingin tahu rasanya berguling di atas rumput itu. Pasti halus dan nyaman. Mata madu gadis itu menjelajah kesekitar. Pohon pinus yang berdiri dengan tinggi, pagar besi berwarna hitam yang membatasi rumah dengan hutan, pot-pot kecil berisi bunga warna-warni yang memperindah pemandangan di sekitar rumah itu. Jika diijinkan, Ajeng mau tinggal di tempat ini walau hanya satu hari.

"Ayo."

Ajeng menoleh, Brian telah berjalan hingga sampai di beranda rumah. "Ini rumah siapa?" Ajeng baru ingat belum menanyakan itu. Dia berdiri di sebelah Brian, tapi matanya tak bisa berhenti melihat-lihat, begitu juga dengan bibirnya yang terdecak kagum.

"Mulai kan bawelnya. Bisa nggak kamu diem yang manis. Jangan banyak tanya."

Dasar perusak suasanan hati. Ajeng menggerutu dalam hatinya, tapi akhirnya memutuskan diam tak bertanya apapun lagi. Toh, jika laki-laki ini berniat jahat padanya Ajeng hanya perlu lari ke dalam hutan.

Brian mengetuk pintu kayu jati berwarna coklat itu tiga kali. Diketukan yang ketiga, pintu itu baru terbuka.

Ajeng mencari sosok yang membuka pintu, tapi tak nampak siapapun. Hingga suara melengking khas gadis kecil terdengar. Ajeng pun menundukkan pandangannya.

"Kak Ayen."

Kak Ayen? Ajeng menaikkan satu alisnya.

"Halo, princess."

|| BOOK THREE : Yudjeng || Pasien No.25 (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang