Waktunya tujuh hari sebelum keberangkatan Dokter Reisya ke papua. Selama itu pula Dokter Reisya bersusah payah menghubungi dan membujuk adik kecilnya untuk segera kemballi ke indonesia. Menggantikan tugasnya untuk merawat Ajeng.
"Kamu udah lebih dari cukup berada di sana." dalam nada suaranya Dokter Reisya terdengar kesal.
"Belum, ini belum cukup."
Suara maskulin dari seberang telfon terdengar. Pemilik suara itu tampak malas-malasan menjawab argumentasi Kakak perempuannya.
"Mau sampai kapan kamu main-main begini, jangan sia-siakan kemampuan kamu. Pulanglah, tolong bantu kakak." Seperti memohon, dan itu membuat Adiknya mengernyit ketika mendengar suara Reisya.
"Sis, what happen?"
Dia mulai mau mendengarkan.
"Dia seorang gadis, seumuran dengan Luna. Dia mengidap kanker otak stadium dua. Sebenarnya masih belum jelas setelah kakak memeriksanya lagi. Mungkin sebenarnya penyakitnya sudah lebih parah dari pada itu."
Luna. Gadis itu adalah alasan Dr. Reisya menjadi dokter. Dia adik perempuan Dr. Reisya satu-satunya. Gadis berwajah manis itu meninggal di usianya yang menginjak enam belas tahun, jantung bocor adalah penyebab kematiannya.
"Kak, bukan berati semua gadis yang sakit dan seumuran sama Luna itu jadi urusan kita. Udahlah, masih ada Dokter yang lain kan. Mereka pasti..."
"Brian, kenapa kamu jadi Dokter?" suara Reisya berubah menjadi es yang membekukan. Membuat Brian di seberang telfon tak bisa mengeluarkan suaranya. Dia sadar telah memancing kesabaran Kakak perempuannya hingga titik batas.
"Kamu tahu, yang kamu ucapkan tadi semuanya memang benar. Tidak semua gadis yang seumuran dengan Luna dan sedang sekarat adalah urusan kita, Dokter lain juga memang ada. Tapi alasan Kakak minta tolong sama kamu, karena Kakak cuma percaya sama kamu. Brian, kamu itu lebih hebat dari Kakak. Kemampuan medis kamu melebihi kemampuan dokter-dokter yang ada di sini. Kakak mohon, pulanglah dan bantu Kakakmu ini. hanya sekali ini Kakak memohon sama kamu."
Brian menarik nafasnya dengan berat. Sebenarnya siapa gadis ini? bagaimana bisa dia membuat Kakaknya memohon seperti ini.
"Ok. Aku akan pulang. Tapi aku nggak bisa pulang dalam waktu dekat, aku harus mengurus semuanya dulu." Apa yang bisa Brian lakukan selain mengalah. Dia juga tidak bisa mengabaikan kode etik kedokteran yang sudah ia ucapkan dulu.
"Bukan masalah. Masih ada waktu tujuh hari lagi sebelum keberangkatan Kakak ke papua. Brian, terima kasih. Kakak benar-benar berterima kasih."
Brian tersenyum tipis ketika mendengar kelegaan dalam nada suara Reisya. "No. You're my sister, member. Nggak perlu berterima kasih."
"Tapi yakin deh, setelah kamu ketemu sama Ajeng, kamu pasti akan berterima kasih sama Kakak karena udah maksa kamu pulang ke indonesia." Reisya bergurau setengah menggoda.
Terdengar suara kekehan dari Brian. "I don't think so."
"No, not yet. Ajeng itu manis, liat aja nanti kalo kamu udah ketemu sama dia."
"Kak Sya bilang dia masih enam belas tahun kan."
"Umur itu Cuma barisan angka."
"You know what? Kita udah out of topic loh, Sisty."
Reisya tidak bisa menahan tawanya entah kenapa. Dia merasa benar-benar dalam mood yang baik sekarang. Brian juga sama, dia tersenyum lebar hingga menerbitkan dua lesung pipinya yang manis. Rindu dengan kedekatannya bersama sang Kakak.
KAMU SEDANG MEMBACA
|| BOOK THREE : Yudjeng || Pasien No.25 (Complete)
Ficción General# SUDAH TERBIT DALAM BENTUK EBOOK dan tersedia juga di PLAY STORE/PLAYBOOK # Ajeng hanya seorang gadis biasa yang hidup di antara kasih sayang orang tua yang berlimpah, untuk Kakaknya. Dia memiliki seorang kekasih yang lembut dan perhatian, pada sah...