Bab 2. 05

1.3K 192 34
                                    

Bandung adalah salah satu destinasi tempat liburan keluarga yang cocok di hari libur seperti ini, tak ayal, jalanan menjadi padat merayap. Suara klakson mobil saling sahut bersahutan. Mario pun sesekali ikut membunyikan klaksonnya.

Padahal mereka sedikit lagi akan sampai, tapi kemacetan yang parah ini benar-benar tidak bisa membuat mereka bergerak sedikitpun. Mario mengusap dahinya frustasi, entah sudah berapa kali nafas beratnya ia hela. Kekhawatiran yang memenuhi dada membuatnya tak bisa duduk dengan tenang. Tak lama kemudian, ketukan di jendela mobilnya membuat Mario mengalihkan pandangan. Brian berdiri di samping mobilnya, cepat-cepat Mario membuka jendela mobil.

"Om, macetnya parah. Gimana kalo saya ketempat Ajeng duluan, nanti Om sama Kakak saya nyusul." Brian memberi usulan.

Mario tampak memikirkannya, sebelum akhirnya menyetujui. "Ok kalo gitu. Ranca upas, kamu tahu tempat itu kan?"

"Saya tahu Om. Ok, jadi kita ketemu di sana."

"Iya."

Brian segera pergi, tadi dia sempat melihat panggalan ojek, naik motor pasti akan lebih cepat. Bisa menyelip di antara mobil-mobil yang mengular di jalanan.

"Bang, bisa secepet apa?" Brian mengucapkannya sambil menunjukan dua lembar uang berwarna merah di depan wajah tukang ojek.

"Secepet yang Mas mau dah." Mata Abang tukang ojek itu berbinar, senyumnya mengembang bahagia.

"Kalo gitu, ngebut ya, Ranca upas."

"Siap!"

***

Rasanya seperti dipukuli dengan palu godam. Sakit sekali.

Ajeng menumpukan tubuhnya pada pohon, kepalanya semakin pusing dan pandangannya mulai mengabur. Ajeng bersyukur dia berada di deret paling belakang, teman-temannya yang lain jadi tidak perlu melihat kondisinya yang seperti ini.

Ketika akhirnya rasa sakit itu berdentam-dentam tak kunjung menghilang, Ajeng mulai mencengkram kepalanya sendiri, erangan lirih keluar dari mulutnya. Panas namun basah, Ajeng tahu darah mulai keluar dari hidungnya. Dia menahan sekuat mungkin agar tidak berteriak sakit.

Jika teman-temannya yang lain tidak menyadari bahwa Ajeng tertinggal cukup jauh di belakang. Tidak dengan Yudha, dia sejak tadi selalu mengawasi Ajeng yang berjalan di antara Vitha dan Karina, namun ketika mengalihkan pandangannya sejenak pada Vanessa dan kembali padanya, gadis itu sudah menghilang.

Yudha melangkah mendekati Vitha dan Karina, "Mana Ajeng?" tanpa basa-basi dia langsung bertanya.

"Tadi di sampingnya Karina."

"Loh Vit, bukannya bareng lo."

"Nggak. Gue pikir dia sama lo ngobrol."

Yudha menggeram pelan, kesal. Dia menoleh kesegala arah, mencari keberadaan Ajeng diantara kerumunan orang. Sampai matanya menangkap sosok Ajeng berdiri menyandarkan pada pohon, kedua tangan gadis itu tampak mencengkram kepalanya.

Dengan langkah lebar Yudha menghampiri kekasihnya. Belum sampai di tempat Ajeng, langkah Yudha terpaku ketika melihat gadis itu limbung dan akhirnya jatuh tak sadarkan diri.

 Belum sampai di tempat Ajeng, langkah Yudha terpaku ketika melihat gadis itu limbung dan akhirnya jatuh tak sadarkan diri

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
|| BOOK THREE : Yudjeng || Pasien No.25 (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang