Bab 4. 02

632 129 6
                                    

Kata-kata Yudha siang itu seperti halilintar yang menyambar di siang bolong. Mario terkejut, tentu saja. Ini menjadi salah satu bukti, bahwa telah banyak hal yang ia lewatkan. Gadis kecilnya, bukan lagi gadis kecil.

"Ajeng udah tujuh belas tahun." Marisa meletakkan segelas teh hangat di depan suaminya.

"Belum genap. Itu masih beberapa bulan lagi, dia masih terlalu kecil buat pacaran."

"Jangan jadi orang tua yang kolot, Rio. Ajeng udah dewasa." Marisa mengupas sebuah apel merah.

"Nggak, dia itu masih kecil." Mario tetap pada pendiriannya. Meminum teh hangatnya, Mario mengabaikan Marisa yang menghela nafas panjang. "Masih kecil udah berani ngaku pacaran, bocah itu jelas bukan anak baik-baik."

"Waktu kita pacaran aku juga seumuran Ajeng, kalau kamu lupa. Bahkan sebenernya kita nggak pernah pacaran, kamu tiba-tiba dateng ke rumah dan ngelamar aku. Itu lebih parah." Marisa memakan satu potong apel yang telah ia kupas.

"Itu lain cerita." Mario meletakkan gelasnya dengan sedikit tekanan. "Waktu itu aku udah punya kerjaan, sedangkan anak itu. Uang jajan masih minta orang tua, mau sok-sokan. Pokoknya besok aku akan suruh Ajeng buat mutusin bocah itu. Titik."

Setelah itu, Mario melesat pergi ke kamarnya. Angel yang ikut duduk di meja makan, setelah makan malam bersama orang tuanya, mulai bersuara setelah sekian menit hanya diam mengamati.

"Mama?"

"Hmm, iya sayang?"

"Papa emang gitu atau gimana sih?"

"Oh papa, nggak, dia itu sebenernya Cuma takut kalah saing."

"Hah?"

"Iya. Nanti kalau giliran kamu yang punya pacar, papa juga kayak gitu kok."

"Hah??"

***

Meeting siang ini, Mario mengadakannya di salah satu restoran yang terkenal dengan olahan seafoodnya. Kilen yang akan berkerja sama dengannya kali ini berasal dari negeri matahari terbit, itulah alasan Mario memilih restoran ini sekali pun ia tak menyukai olahan seafood apapun.

"Mr. Keijiro, senang bisa bertemu dengan anda, terimakasih untuk waktu luangnya." Mario menyalami seorang laki-laki yang seumuran dengannya. Laki-laki bermata sipit itu tersenyum hangat, "jangan terlalu formal Mario, santai saja. Dan kau bisa memanggilku Ijiro saja." Balasnya dengan bahasa inggris beraksen jepang.

"Baik. Kalau begitu, bisa kita mulai meetingnya, Ijiro?"

"Tentu saja."

Meeting itu berlangsung dengan lancar. Perundingan itu tak se-alot yang Mario duga, Keijiro sangat berpemikiran terbuka hingga menanggapi semua usulan dan idenya dengan tenang. Hingga akhirnya meeting itu selesai dengan hasil tanda tangan kontrak selama tiga tahun kedepan.

"Semoga kita bisa mejalin hubungan kerja sama yang baik."

"ya, aku percaya pada perusahaan dan ide-idemu, Mario."

"Percayakan semua pada kami."

Hidangan makan siang tersaji pada meja lesehan khas jepang. Mario dan Keijiro duduk di atas tatami, tatami adalah semacam yang berasal dari yang dibuat secara , Tatami dibuat dari yang sudah ditenun, namun saat ini banyak tatami dibuat dari . Teh hijau dituangkan, menyebarkan aroma khas yang harum di sekeliling mereka.

"Aku paling menyukai the hijau." Ijiro meminum the hijau miliknya dengan hikmat. "Aromanya selalu membuatku tenang."

"Ya, putri bungsuku juga menyukainya." Mario mengingatnya, saat dua malam yang lalu Ajeng memintanya untuk mencarikan teh hijau. Sejujurnya itu kali pertama Mario mengetahui minuman yang menjadi favorit si bungsu.

|| BOOK THREE : Yudjeng || Pasien No.25 (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang