Bab 3. 01

1.3K 174 18
                                    

Keadaan jadi canggung. Sejak pernyataan Yudha seminggu yang lalu. Ajeng menjadi sedikit menjaga jarak dengan kekasih es batunya itu. Kali ini bukan karena ia takut, melainkan karena gugup. Karena walaupun sikap Yudha masih dingin, tapi Ajeng bisa merasakan setiap perhatian tulus yang Yudha berikan untuknya.

"Buka mulut." Perintah pemuda itu sembari menyodorkan sesendok bubur ayam di depan mulut Ajeng.

"Gue bisa makan sendiri." Ajeng mengelak. Namun Yudha tak bergeming, hingga akhirnya Ajeng yang mengalah. Dia membuka mulutnya dan menerima suapan Yudha.

Pipinya bersemu. Sambil mengunyah makanannya Ajeng berusaha menekan debaran jantungnya yang menggila. Ajeng merutuki Karina dan Vitha yang tak kunjung kembali, padahal mereka bilang hanya ingin pergi sebentar.

"Loe belum boleh keluar rumah sakit?" pertanyaan Yudha menyentak Ajeng. Pemuda itu kembali menyodorkan suapan yang kelima.

"Iya, belum." Ajeng membuka mulutnya, menerima suapan Yudha.

"Kapan kira-kira loe bisa keluar dari sini?"

"Memang kenapa?"

"Gue nggak suka loe deket-deket dokter itu."

Dokter yang Yudha bicarakan adalah Dokter Brian, adik dari Dokter Reisya. Mengingat Dokter itu, Ajeng jadi teringat pertemuan pertama mereka.

Flashback

Ajeng mengalihkan pandangannya ke segala arah. Ruangan rawat inap VIP yang dipesan oleh papanya setelah ia bangun dari masa kritis ini dikuasai oleh keheningan, padahal bukan hanya Ajeng penghuninya. Brian, dia adik dokter Reisya, wajahnya sangat tampan hingga membuatnya terlihat nyaris cantik, kulitnya putih lebih bersih dari pada Ajeng, diam-diam gadis itu iri. Tubuhnya tinggi tegap, rahangnya terpahat kokoh, mata yang teduh tapi juga tajam, hidung yang mancung, dan bibir tipis merah alami, tanda bahwa ia bukan perokok aktif.

Dapat Ajeng katakan bahwa Brian itu nyaris sempurna. Namun sayang, sifatnya berbanding terbalik dari rupanya yang bak dewa yunani.

Sejak Reisya mengenalkan Brian pada Ajeng dan meninggalkan laki-laki itu hanya berdua denganya dua puluh menit yang lalu, Brian sama sekali tidak menganggap Ajeng ada. Laki-laki itu duduk di sofa yang letaknya tak jauh dari tempat tidur Ajeng, dengan menyilangkan kaki dan memainkan handphone di tangan, Brian sama sekali tidak melirik Ajeng sedikitpun. Bukan bermaksud untuk genit, tapi Ajeng bukan orang yang tak pandai memulai sebuah obrolan. Dia terlalu canggung, apa lagi dengan orang baru, lebih-lebih lagi orang itu laki-laki.

"Jadi, sejak kapan kamu merasakan gejalanya?"

Ajeng rasa pertanyaan itu untuknya. Iya kan? "Maaf, apa?" tiba-tiba bicara masih dengan memainkan handphone tanpa sedikitpun menatapnya. Benarkah laki-laki ini adik kandung Dr. Reisya yang ramah.

Brian akhirnya menutup aplikasi candy crush, permainan yang cocok untuk membuang waktu secara percuma, sebenarnya Brian sangat ingin mengirimi pesan pada kakaknya tentang kelaukuannya yang meninggalkan Brian berdua saja dengan Ajeng setelah perkenalan singkat mereka dua puluh menit yang lalu. Tapi sejak tadi jarinya tidak mampu mengetik gerutuannya pada Reisya. Mungkin itu karena, tanpa Brian sadari ia sebenarnya sangat berterima kasih pada Reisya.

"Sejak kapan kamu merasakan gelajanya? Seperti pusing, mudah lelah dan telinga yang berdengung atau mata yang tiba-tiba kabur." Brian sekarang berdiri di samping tempat tidur Ajeng. Dan sesungguhnya itu terlalu dekat, karena Brian juga membungkukan tubuhnya, mensejajarkan wajahnya dengan wajah Ajeng yang masih terlihat pucat.

"Mungkin sejak dua atau satu minggu yang lalu." Ajeng menatap telinga Brian. Menatap matanya secara langsung dari jarak sedekat ini tidak baik bagi kesehatan jantung.

|| BOOK THREE : Yudjeng || Pasien No.25 (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang