Bab 5. 03

670 108 4
                                    

Ucapkanlah pada hari ini, kau akan lebih baik dari hari kemarin.

Mereka sangat terlambat, saat waktu telah menunjukkan pukul 9 malam, mereka baru sampai di rumah sakit. Brian telah menunggu mereka di dalam ruang rawat Ajeng, dia seperti seorang ayah yang menunggu kepulangan anaknya yang nakal.

Yudha menepati janjinya, dia menerima akibat karena tidak memulangkan Ajeng sesuai waktu yang telah ia dan Brian sepakati. Dua minggu adalah waktunya, selama itu ia dilarang untuk bertemu dengan Ajeng.

"Hari ini kamu akan terapi radiasi." Dr. Brian yang hari itu sudah ada di kamarnya pagi-pagi sekali, mengingatkannya. Ajeng hanya mengangguk sembari bergumam pelan. Ia masih kesal, tentu saja.

Kenapa orang ini bertindak sesuka hatinya. Apa haknya melarang Ajeng bertemu dengan Yudha. Menggunakan alasan sebagai dokter pribadi, itu jelas tidak masuk akal. Karena bagaimana pun juga dia hanya orang asing.

Melihat Ajeng yang menjawabnya dengan sangat singkat, dan tanpa menatapnya, membuat Brian mendengus. Mau bagaimana pun juga gadis ini tetaplah bocah sma, Brian melupakan satu fakta itu.

Apa yang bisa ia lakukan untuk membuat Ajeng tidak marah lagi padanya? Muncul lampu neon di atas kepala Brian. Dia dengan cepat mengambil benda persegi canggih dari saku celananya, mengotak-ngatiknya sebentar lalu menempelkannya di telinga.

Saat nada sambung itu berhenti, dan suara seorang wanita terdengar. Brian langsung menyerahkan handphonenya pada Ajeng. Tepat di depan wajah gadis itu, hingga membuat Ajeng terkejut.

"Apa?"

"Buat kamu."

Ajeng melihat layarnya, tertera nama Syasist di sana. Siapa tuh Syasist? Samar-samar Ajeng mendengar suara dari sambungan telfon yang masih tersambung. Ragu-ragu Ajeng meraih uluran handphone Brian.

"Harus cepet. Radiasi handphone nggak baik buat jaringan otak." Laki-laki ini masih sempat memberi tahu dengan arogan disaat ia sendiri yang memberikan handphonenya pada Ajeng, hebat. Sungguh hebat. Ajeng ingin memutar matanya jengah, tapi ia tahu itu tidak sopan, jadi Ajeng menggantinya dengan menganggukkan kepala pasrah.

"Halo?" Ajeng menyahut suara dari sebrang sana, ia seperti mengenali suara ini.

"Halo, halo ini Ajeng ya? Ajeng astaga, saya kangen banget sama kamu."

Ini, "Dokter Reisya?"

"Iya, ini Dokter Reisya. Ajeng kamu apa kabar, ya ampun kangen banget sama kamu."

"Saya juga kangen sama dokter. Kabar saya baik kok dok. Kabar dokter sendiri gimana? Dokter baik-baik aja di papua?" rasanya sudah sangat lama Ajeng tidak mendengar suara wanita cantik itu. Setelah dipindah tugaskan ke papua, komunikasi mereka terhambat, hingga sangat jarang untuk mengobrol melalui telfon.

"Kabar saya baik, di sini orang-orangnya juga baik. Nggak kayak yang pernah kita pikir waktu itu."

Ajeng dan Dr. Reisya tertawa bersama. mereka memang sempat bebicara panjang lebar sebelum Reisya berangkat ke ujung timur indonesia. Mereka pikir orang-orang di sana akan kurang ramah, dan sulit menerima kehadiran seorang dokter. Tapi ternyata sebaliknya, mereka menyambut kehadiran Dr. Reisya dengan tangan terbuka.

"Terus. Gimana pengobatan kamu, berjalan dengan baik?"

"Ya. hari ini saya mau terapi radiasi."

Meskipun tidak melihatnya secara langsung, Reisya dapat mendengarnya lewat suara Ajeng. Gadis itu pasti menjalani masa yang sulit. "Kamu harus kuat. Saya dengar dari Brian, meskipun perkembangan kamu lamban, tapi kamu masih punya harapan lebih besar daripada pasien kanker otak yang lain."

|| BOOK THREE : Yudjeng || Pasien No.25 (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang