Langkah cepat Gladys terdengar menggema di sepanjang koridor sekolah yang mulai sepi, langkah kaki itu kini terdengar nyaris berlari. Bel masuk sudah berdering sekitar 15 menit yang lalu, untungnya Pak Muklis--satpam sekolah--bersedia membukakan pagar untuk Gladys, mengingat gadis itu jarang sekali, bahkan tidak pernah terlambat.
Tiga langkah sebelum pintu kelas, Gladys berhenti. Napasnya sedikit tersengal walaupun sudah diatur. Perlahan tapi pasti, tangan kanannya menggapai gagang pintu, kemudian mendorongnya ke bawah.
Satu kalimat yang terlintas di benak Gladys, gue benci moment ini.
Refleks, semua murid di kelas itu mengarahkan atensinya pada Gladys. Tatapan-tatapan itu tidak menyorot terlalu lama, hanya sepanjang Gladys berjalan dari ambang pintu ke bangkunya. Satu-satunya hal yang disyukuri oleh gadis itu adalah guru ter-killer yang seharusnya mengisi jam pelajaran pertama hari ini belum hadir. Ya, Bu Rini.
Alhamdulillah, batin Gladys.
Aneh, jika belum ada guru begini biasanya kelas sudah berisik kayak pasar malam ketika malam minggu tiba. Namun hal itu tidak berlaku pagi ini.
"Kok garing banget, sih?" Gladys celingak-celinguk, sorot matanya memantau ke seluruh penjuru kelas, "tumbenan."
Rata-rata dari mereka sedang bercengkrama sambil mengumpul di salah satu meja, ada yang fokus dengan ponsel, atau sibuk sendiri, intinya tidak ada yang bercanda berlebihan seperti biasanya.
Mendengar ucapan Gladys yang sepertinya tidak tahu trending topic pagi ini, Leslie langsung menoleh, "Lo belum tau tentang Freya?"
Dengan tampang polos, Gladys menggeleng pelan, "Memangnya apa?"
Bukannya memberi tahu, Leslie malah menatap Gladys dengan sorot bingung.
"Apa sih, Les? Kok lo malah bikin penasaran gitu?"
Leslie memberikan kode dengan tangannya agar Gladys mendekat. Tanpa ba-bi-bu, Gladys langsung mendekatkan telinganya dengan mulut Leslie.
"Freya bunuh diri," bisik Leslie.
Kedua bola mata Gladys seketika membulat sempurna, perasaan tak percaya, bingung, dan terkejut bukan main bersatu padu di benaknya.
"Serius lo, Les?"
Leslie mengacungkan jari tengah dan jari telunjuknya membentuk huruf V, "Dua rius."
"Terus sekarang gimana?"
"Koma di rumah sakit. Semoga tertolong," tutur Leslie pelan.
"Ya ampun ... ada masalah apa, sih dia?"
"Mana gue tau." Cewek bule itu menggedikkan bahunya, "lo kan sahabatnya."
Ejekan Leslie seketika membuat Gladys berdecak kesal.
"Makanya Bu Rini enggak masuk, dia lagi nyelidikin kasus ini, bahkan dia sempat ngira kalo Freya itu termasuk korban bullying," Leslie menyesap es teh-nya yang tinggal satu tegukan lagi sehingga ucapannya harus terhenti sejenak, "padahal justru Freya tukang bully-nya."
Gladys mengerutkan bibir sambil manggut-manggut, berusaha memahami apa yang Leslie maksud.
"Gue ke meja piket sebentar," ujar Leslie sambil bangkit dari bangkunya dengan membawa gelas plastik es teh-nya yang sudah kosong, "sekalian mau buang sampah."
Tak lama dari itu, Dika melangkahkan kakinya memasuki ruang kelas. Wajahnya luar biasa suntuk, matanya merah, kentara persis bahwa ia tidak tidur semalaman. Namun ada raut bersalah di wajah cowok itu yang tertangkap oleh manik Gladys.

KAMU SEDANG MEMBACA
Change
Ficção AdolescenteBanyak orang yang berasumsi bahwa harta kekayaan berbanding lurus dengan kebahagiaan. Tapi tidak menurut Regitta Gladys. Gadis yang jelas-jelas berasal dari keluarga kaya, namun kekurangan bumbu kebahagiaan dalam hidupnya. Sifat pemurung yang memben...