SATU : WHO CARES?

1.6K 547 920
                                    

Dengan sorot mata penuh amarah, Gladys menyusuri koridor lantai dasar sekolahnya. Kemeja pendek seragamnya tidak dimasukkan ke dalam rok abu-abunya, serta kucir rambutnya menurun. Gadis culun itu kini tampak lusuh. Ia menelan salivanya berkali-kali, sesekali menghela napas berusaha memaafkan mereka semua.

Kejadian tadi siang kembali lewat di memori ingatannya. Gladys selalu membawa buku hariannya ke sekolah. Setelah usai jam pelajaran ia pasti mampir ke taman belakang sekolah. Rerumputan hijau, pepohonan yang teduh, suara air mancur, dan bangku taman sudah cukup menjadi pelarian dari hidupnya yang penuh dengan ketidakadilan. Hanya di sini ia dapat tenang dan mencurahkan isi hatinya pada buku hariannya. Satu-satunya sahabat yang mengetahui semua rahasianya.

Namun, hari ini naas, saat jam olahraga selesai, Gladys yang baru kembali dari ruang ganti baju langsung terbelalak saat kembali ke kelas dan mendapati buku hariannya berada di tangan Freya—ketua geng Snow dan juga adik dari Farel, cowok yang Gladys suka. Ditambah lagi buku hariannya dikerubungi seluruh anggota geng Snow—geng cewek dari kelas XI IPS 2 paling rusuh seantero sekolah dan hobbynya menggeledah tas orang hanya untuk seru-seruan.

Gladys segera menyambar buku hariannya dari tangan Freya, "Kenapa sih, lo gak ngebiarin gue hidup tenang!" kerumunan tersebut bubar seketika saat Gladys datang dan langsung menumpahkan emosinya.

"Tadi lo gak ada, tiba-tiba kepengen aja gitu kepo'in tas orang kayak lo," ujar Freya santai tanpa rasa bersalah lalu bergegas meninggalkan Gladys.

Di kelas itu hanya ada sembilan orang. Gladys, dan lima orang anggota geng Snow, sisanya murid-murid yang tidak begitu populer dan memilih untuk tidak ikut campur. Untungnya yang lain belum selesai ganti baju jadi tidak harus mengetahui kejadian ini.

Gadis-gadis centil tadi melihat gadis berkacamata tersebut dengan sorot mata yang beraneka ragam.

Hening.

Gladys menggigit bibir bawahnya sambil mendudukkan dirinya di atas bangku.

Freya berbalik ke arah Gladys, "Maaf deh ya gue emang salah. Gue cuma pengen nanya, lo baru puber?" pertanyaan Freya berhasil memecah gelak tawa teman satu gengnya.

"Tanggal sembilan belas Agustus lo baru tau tentang cinta? Mantan gue aja udah tujuh belas orang," tambah Freya sambil terkekeh.

"Lo mah cabe." Anna melemparkan tisu kotornya ke arah Freya.

"Gak pa-pa cabe dikit, daripada gak laku." Freya berucap sambil melirik Gladys dengan sorot mata mengejek. Semakin membuat geng tersebut riuh karena suara tawa dan ejekan. Selanjutnya mereka bersenda gurau tanpa memikirkan perasaan Gladys.

Gladys berlari sambil membawa buku hariannya keluar kelas menuju toilet perempuan. Ia meletakkan buku hariannya di samping wastafel lalu bercermin, menatap dirinya yang tampak menyedihkan. Dinyalakannya keran yang berada di dekatnya lalu secara kasar ia membasuh wajahnya dengan air berkali-kali, ia memejamkan matanya dan berharap ini semua hanya khayalannya. Tapi ini semua nyata. Dan ini bagian dari hidup Gladys, gayanya yang kaku selalu mengundang perhatian banyak orang untuk mempermainkan dirinya.

Hus! Sekuat tenaga Gladys menghapus memori tentang kejadian tadi dari ingatannya. Ia kembali fokus berjalan menyusuri koridor hingga sesuatu menyadarkan Gladys dari lamunannya.

"Heh! Lo yang namanya Gladys?" suara bariton dari arah belakang berhasil menghentikan langkah Gladys.

Gladys menghela napas, entah cobaaan apalagi yang akan menguji kesabarannya. Perlahan tapi pasti, ia membalikkan badannya ke sumber suara.

Atmosfer di sekelilingnya seketika berubah.

Cowok itu, Farel.

Ia tidak sendiri, ada Freya yang berdiri di sampingnya dan beberapa teman Farel.

ChangeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang