Napas Gladys tertahan, darahnya berdesir, jantungnya berdegup cepat semakin menjadi-jadi. Gadis itu memejamkan matanya kuat-kuat, berusaha menutup wajah Dika yang semakin jelas muncul di hadapannya.
Kendati demikian, gadis itu mencoba memberanikan diri tuk membuka kelopak matanya. Lalu terlihatlah wajah manis Dika yang hanya berjarak sekitar 5 centi dengannya, mata cowok itu terpejam.
Gawatnya, Gladys hanya terus mematung di posisinya karena terlampau bingung. Dari gelagatnya saja, Dika terang-terangan menunjukkan apa yang akan ia lakukan.
Sejurus kemudian Dika membuka matanya, bibirnya melengkung ke atas lalu mulai tertawa.
"Dik?" Air muka Gladys mulai tenang, setidaknya tidak setegang tadi.
Alih-alih menyahut, tawa Dika malah semakin lantang, "Ya ampun muka lo tegang banget barusan."
Gladys menghela napas lega, keningnya sampai mengkerut melihat kelakuan manusia di hadapannya itu, lantas dialihkan pandangannya ke arah lain.
"Harusnya tadi gue foto dulu." Bukannya berhenti, Dika malah semakin terbahak.
"Gak ada beda-bedanya sama anak bayi mau imunisasi." Kali ini cowok itu membaringkan punggungnya ke rooftop tersebut sehingga ia berada di posisi tiduran dengan kaki menekuk.
Gladys memandang Dika dengan tatapan sengit, "Awas aja kalo berani kaya gitu." Pipinya hampir semerah kepiting rebus, tak dapat menutupi rasa malunya walau sesaat.
Dika mulai meminimalisir gelak tawanya agar tidak semakin menjadi, ia meletakkan pergelangan tangan kanannya di atas matanya yang dipejamkan.
Sementara Gladys mengarahkan atensinya lurus ke depan, tidak peduli pada posisi Dika saat ini.
"Sekarang gue tau apa yang bikin lo menarik buat di-bully," ungkap Dika.
"Apa?"
Cowok yang berada di sebelah Gladys itu lantas terduduk dan menatap Gladys intens. "Lo terlalu nunjukin ekspresi ketakutan setiap lo ngerasa ditekan."
"Percaya deh, kalo gue jadi pem-bully, ya yang gue jadiin sasaran yang punya wajah-wajah kayak gitu."
"Wajah kaya gue maksudnya?!" Mata Gladys seketika menjegil.
"Bukan gitu," Dika berdecak. "Ralat, bukan wajah lo, tapi ekspresi lo itu yang bikin orang yang gangguin lo jadi makin seneng."
Gladys mengangguk pelan meski belum sepenuhnya paham.
"Misalnya kalo lo berhadapan sama gengnya Freya, lo sebenernya bisa pasang ekspresi biasa aja, tapi lo milih buat nunduk atau pasang wajah yang mendeskripsikan kalo lo itu lagi tertekan."
Secuil adegan di hidup Gladys terputar kembali di memori ingatannya. Saat Farel mendatanginya untuk yang pertama kali, ia hanya menunduk dan menunduk, bahkan Farel harus mengangkat dagunya agar mereka bisa bertatap muka. Dika benar tentang dirinya.
"Ekspresi kaya gitu cuma bikin mereka makin gemes buat nge-bully lo," lanjut Dika.
"Lo bener, Dik."
"Walaupun udah sifat bawaan lo kaya gitu, coba aja lo mulai ngebiasain diri supaya lo gak terlalu keliatan lemah di depan mereka."
"Iya, gue coba, gue juga capek digituin melulu."
Dika memberikan senyuman manisnya.
"Ngomong-ngomong, si Freya gimana ya kabarnya?" Gladys jadi ingat jika gadis yang disebut di obrolannya dengan Dika itu sedang di rumah sakit.

KAMU SEDANG MEMBACA
Change
Teen FictionBanyak orang yang berasumsi bahwa harta kekayaan berbanding lurus dengan kebahagiaan. Tapi tidak menurut Regitta Gladys. Gadis yang jelas-jelas berasal dari keluarga kaya, namun kekurangan bumbu kebahagiaan dalam hidupnya. Sifat pemurung yang memben...