DUA PULUH SATU : STOP IT

476 56 13
                                    

Tidak ada suara lain selain dentingan halus jarum jam yang menggema di dalam kamar Gladys dengan rutin. Heningnya malam semakin terasa. Hanya suasana sepi yang mengubur Gladys di ruangan yang lumayan besar tersebut.

Gladys berbaring di atas ranjangnya sambil menatap langit-langit kamar. Terbayang jelas di benak Gladys bagaimana wajah Axel saat ia menolaknya. Gladys tahu persis Axel, cowok itu sudah sering memacari gadis-gadis dari tiap angkatan, dan sejauh ini belum ada satupun mantan pacar Axel yang benar-benar berhasil mencuri hatinya.

Namun jika hati Axel sudah dimiliki satu orang, cowok itu benar-benar hanya memikirkan sang pemilik hatinya. Jadi, Axel sebenarnya tipikal cowok yang setia pada gadis yang ia sayang.

Setelah menimang-nimang sekian lama, Gladys akhirnya mengumpulkan keberanian untuk mengirimi pesan singkat pada Axel.

Axel

Axel?

Gadis itu menghirup napas dalam-dalam, lalu mengeluarkannya lewat mulut. Andai saja Axel mengerti apa yang ia rasakan.

Merasa bosan berkemul dengan selimut, Gladys lantas memutuskan keluar dari kamarnya. Entah itu ke ruang tamu atau ke pekarangan rumah, pokoknya ia bosan di kamar.

Baru menuruni beberapa anak tangga, langkahnya terhenti. Dapat ia saksikan dari atas sini, adegan di mana Papanya tengah duduk manis di sofa ruang tamu, lalu Mamanya dengan santai melenggang memasuki ruangan yang sama.

"Dari mana, sih?" Dengan tatapan tajam, Rio bangkit dari sofa.

"Dari mana lagi? Ya kerja," jawab Vera, sambil melepas sepatu kerja coklat tuanya yang sedikit ber-hak.

"Kamu harusnya enggak pulang jam segini tiap hari," ujar Rio.

"Bukannya dulu kamu setuju kalo aku kerja?" Vera mendudukkan dirinya di atas sofa yang berhadapan dengan Rio, lalu menyandarkan punggungnya dengan ekspresi kelelahan.

"Kalo pulangnya jam segini tiap hari mendingan kamu jadi Ibu rumah tangga." Rio kembali terduduk, tatapan nyalangnya benar-benar membunuh siapapun.

"Ngapain aku sekolah tinggi-tinggi kalo cuma jadi Ibu rumah tangga?"

"Bukan gitu maksud aku ...," Rio mengacak rambutnya frustasi, "aku cuma minta kamu enggak pulang larut tiap malam."

"Ya kalo kerjaan belum beres gimana?" nada bicara Vera naik satu oktaf. Ucapannya terdengar nyata, bahkan tidak kentara sedikitpun bahwa ada dusta di dalamnya.

Dengan susah payah Gladys menelan salivanya. Berharap perdebatan konstan yang sudah terjadi sejak hampir sepuluh tahun yang lalu itu segera berhenti, setidaknya untuk malam ini. Kakinya mundur satu langkah, berencana kembali ke kamarnya yang bebas dari adegan pertengkaran.

"Sekarang kamu liat Gladys," bentak Rio, tangannya menunjuk ke arah foto Gladys yang tergantung di ruang tamu.

"Kenapa?" tukas Vera segera.

"Dia bahkan gak betah satu ruangan sama kamu lebih dari sepuluh menit!" Rio menunjuk Vera tepat di pertengahan kedua matanya.

Vera termangu, wanita itu meneguk air liurnya. Manik matanya menatap Rio lamat-lamat, "Dia memang udah besar."

"Bukan itu," Rio terdiam, "saking renggangnya hubungan kalian, enggak kayak Ibu sama anak."

"Stop," Vera mengangkat kedua telapak tangannya setinggi dada, "mau sampe kapan kita kayak gini?"

ChangeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang