(3) Ya.. Begitulah

771 55 5
                                    

"Iya gue putus." Tatapan matanya terlihat terluka.

Akbar sontak terkejut. Ternyata hal itu bukan kabar burung belaka. Faktanya hal tersebut memang terjadi.

Akbar hendak menanyakan alasannya pada Eva. Tetapi hal itu ia urungkan, ia tak ingin membuat Eva semakin kecewa pada Arel.

"Masih banyak kali cowok di luar sana yang suka sama lo." Akbar mengacak rambut Eva pelan.

Gadis itu tersenyum miris, memang banyak cowok yang mengincarnya setelah ia putus dengan Arel. Tetapi apakah Eva boleh berpendapat? Memangnya move on itu mudah?

"Hmm. Gue capek bar! Gue capek!" Tangisnya perlahan pecah. Ia mendekati lelaki jangkung itu, ingin bersandar pada bahu kekar yang seakan siap menerima segala keluh kesahnya.

Tak disangka badan Akbar malah menghindar dari pelukan gadis malang itu. "Jangan pelukan, kita belum muhrim!"

Eva malah terkekeh, gadis tersebut menepuk keningnya pelan. "Oh iya maaf. Gue lagi baper." Tangannya mengusap kasar air mata yang menolak untuk bertahan.

"Bar?"

"Apa?"

"Kenapa... setiap gue udah sayang sama orang, orang itu malah nyakitin gue?" tanyanya menatap iris legam Akbar dengan serius.

Akbar tersenyum tipis. "Karena dia bukan orang yang tepat buat lo sayang," ucapnya dengan lembut, "jangan nangis lagi ya?"

"Emangnya kenapa kalo gue nangis?"

"Nangis nggak akan nyelesein masalah. Tapi kalo nangis bikin lo lega. Nangis aja. Tapi gue masih ga rela liat air mata lo keluar sia-sia." Lelaki jangkung itu segera beranjak pergi dari tempat duduk Eva. Akbar sempat membalikkan badannya lalu tersenyum tipis. Membuat Eva semakin mengernyitkan dahinya.

MasihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang