(11) Gagal Move On (3)

512 29 0
                                    

"Astaga. Ini udah hampir jam lima sore." Eva menghela napasnya panjang. Sambil terus untuk menghubungi nomor telepon ayahnya.

Untuk keenam kalinya, hanya suara operator provider yang terdengar.

Gadis itu sedang bingung, masalahnya sekolah sudah sepi, dan hanya menyisakan beberapa siswa yang baru pulang dari ekstra--termasuk dia.

Oh okay, Eva akan mencoba alternatif lainnya. Ia harus menghubungi kakak laki-lakinya. Tangannya dengan lincah mencari nama Dino di daftar kontak handphone-nya. Hal yang serupa pun terjadi, hanya ada suara operator provider.

Ia mulai mendengus sebal. Bagaimana ia akan pulang? Hanya satu cara yang terpikirkan olehnya.

Jalan kaki.

Oh tidak, terima kasih. Betis Eva sudah besar, apalagi dibuat jalan sebegitu jauhnya, akan jadi apa betisnya nanti? Baiklah, mungkin Eva akan mencobanya, dan ia yakin, setelah itu ia butuh tukang pijat.

Tapi ... bagaimana jika ia tidak bisa sampai di rumah dan berhenti di tengah-tengah jalan? Bagaimana jika ia diberi permen oleh seseorang yang tidak ia kenal, lalu ia diculik? Bagaimana ... bagaimana jika ...?

Gadis itu menggelengkan kepalanya keras. Ia ingat perkataan mamanya bahwa ia harus selalu berpikir positif. Dan harus menghilangkan pikiran-pikiran negatif yang bergelayutan di dalam otaknya.

Fine! Sepertinya cuaca juga sangat mendukung keadaan Eva. Hujan mulai turun membasahi jalanan di depan Eva. Membuatnya harus berjalan sekitar 5 langkah, dan berteduh di bawah halte.

Sekali lagi ia menghela napasnya. "Ini gue harus gimana coba?"

"Lo kayanya harus numpang di mobil gue," ucap seseorang.

Eva sontak menolehkan kepalanya menghadap asal suara tadi. Dan didapatinya cowok itu sedang berdiri di dekat halte.

"Apa lo? Ngapain ke sini?" tanya Eva pada Arel yang sedang berjalan mendekatinya.

"Lo mau pulang sama gue ga? Daripada lo mati kedinginan di sini," ujarnya enteng.

Oke, siapa yang punya batu di sini? Rasanya Eva ingin melemparkan benda tersebut tepat di wajah tampan, maksud Eva ... wajah jelek Arel.

"Nggak. Makasih, lebih baik gue nunggu jemputan ayah." Eva masih menatap jalanan yang basah--akibat hujan-- di depannya.

"Oh ya udah gue pulang dulu ya." Arel tersenyum tipis meninggalkan Eva.

Namun, tak lama kemudian badannya berbalik dan matanya kembali menatap gadis itu disertai seringaian di wajahnya. "Katanya ya, kemarin di sini ada penampakan--"

"Oke fix! Gue pulang sama lo!" teriak Eva sebelum Arel menyelesaikan kalimatnya.

Arel tersenyum senang lalu menarik tangan Eva dengan cepat. "Ayo, mobil gue ada di depan!"

Arel ingin tertawa terbahak-bahak jika melihat ekspresi Eva pada saat itu. Eva memang sangat penakut. Bahkan, hanya dengan gurauan yang tadi dilontarkan Arel, itu bisa membuatnya bergidik ngeri. Yah, daripada mengambil resiko--seperti yang Arel katakan tadi, lebih baik ia pulang bersama cowok menyebalkan itu.

Gadis itu baru menyadari sesuatu. Ada perasaan kesal dan perasaan senang saat tangannya ditarik oleh Arel.

Senang?

MasihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang