02. Kenangan Masa Lalu (2)

819 39 0
                                    

02. Kenangan Masa Lalu (2)


Ia menghitung masa dalam pikirannya sendiri. Sudah berapa lama ia menunggu hal yang tak kesampaian ini. Rindu, itulah tepatnya yang dirasakan hingga menyeret hatinya dalam ruang sepi. Ingin sekali dirinya bisa melihat mata yang seteduh lambaian pohon pada teriknya matahari. Begitu kerasnya hatinya untuk memaksa berharap bisa sekelas dengannya, bercerita mengenai indahnya dunia bersama.

Matanya melirik ke arah pintu untuk menunggu Alena untuk memasuki kelas. Wanita berambut lurus sebahu itu tak kunjung mengunjunginya setelah pembagian kelas. Namaya tidak ada di daftar kelas ini. Entah di kelas mana ia sedang terdampar.

Tak ada sepatah kata pun yang lontarkan pada teman sekelasnya. Ia malu untuk memulai percakapan. Beberapa murid sudah mulai membuat pertemanan di sana, terutama murid laki-laki. Kelly hanya duduk sambil mendengarkan lagu melalui headset yang ia kenakan.

Lagu dari Payung Teduh yang merdu mengisi kekosongan pikirannya saat ini. Kelly menikmati setiap petikan gitar yang menjadi pengiring dari setiap lagunya. Harmoni dengan ritme yang lambat. Ia merasakan angin senyap seakan berayun mengelilingi dirinya. Terasa nyaman oleh melankoli yang disampaikan pada lagu.

"Kelly!" panggil Alena dari pintu kelas. Kelly tak mendengarnya. Ia sibuk dengan lagu yang sedang ia putar. "Kelly!"

Kelly tak merespon. Wanita itu mendekati meja Kelly. Ia mendapati Kelly sedang bersandar santai di tempat duduknya sembari memejamkan mata. Tangannya melepaskan headset yang sedang terpasang di telinga Kelly.

"Kelly, kamu benar-benar tidak dengar," kata Alena.

Kelly membuka mata dan terkejut Alena sedang ada di hadapannya.

"Alena ... Kita tidak sekelas," kata Kelly dengan manja. Wajahnya turun membentuk segurat sedih.

"Iya tidak apa-apa, aku ada di kelas sebelah. Kita telusuri sekolah, Kell," ajak Alena.

"Bagaimana kalau ke kantin?" tanya Kelly.

Alena berpikir sejenak. Ia menatap Kelly. Anak itu memang benar-benar ingin ke kantin. "Ayo."

Kantin sesak oleh murid yang kelaparan. Kelly dan Alena berada dikantin tepat disaat jam istirahat dimulai. Tentu saja kantin sesak dengan para murid sekolah. Kelly dan Alena bersusah payah mencari tempat kosong untuk diduduki. Sementara itu, tangan mereka sudah mulai kedinginan oleh gelas jus yang mereka genggam.

Mata Alena liar menatap kakak-kakak kelas tampan yang melintas di hadapan. Tidak sedikit pun ia mengerjapkan mata dengan pesona yang sedang ia nikmati. Tengelam dalam imajinasi dirinya sendri. Sementara itu, jus yang mereka pesan sudah habis setengah. Alena senyum-senyum menikmati pemandangan kakak kelas tampan.

"Kell, aku tadi melihat pria tampan sekali," kata Alena tiba-tiba.

Kelly tersenyum sekaligus tertawa. "Bukannya kamu sedari tadi melihat pria-pria tampan yang lewat?"

"Ini benaran, aku lihat dia di ruangan seni. Tampan dan tinggi. Pokoknya kamu pasti suka," ucap Alena. Kelly tidak merespon. Temannya itu memang haus dengan pria-pria tampan yang ia lihat.

Kelly menghabiskan sisa jus di gelas. Sementara itu, pikirannya menerka-nerka siapa pria yang sedang dijelaskan oleh Alena. Ia juga belum tahu ruangan seni terletak di mana.

"Sekolah ini tidak kekurangan pria tampan. Kamu tinggal memilih saja," kata Kelly sambil berdiri.

"Banyak, sih. Namun, sekolah ini juga tidak kekurangan wanita cantiknya." Alena menyenggol bahu Kelly.

"Benar, contohnya kita berdua," balas Kelly sambil menggandeng tangan Alena dan membawanya pergi dari kantin yang penuh sesak itu.

Hari mereka habiskan untuk berkenalan dengan teman-teman baru yang mereka jumpai. Senyum dan tawa perlahan tercipta seiring dengan percakapan yang dimulai. Hari pertama tentu saja tak dihabiskan dengan pelajaran, melainkan untuk beradaptasi dengan teman baru. Namun, Kelly tetap menyembunyikan sepinya itu dibalik senyum yang menyimpul. Ada satu yang tak bisa terpenuhi di hati. Sahabat satu-satunya yang pernah ia jumpai, meninggalkannya hingga ia terjebak dalam sepi.

Dengan sepenuh tenaga Kelly mengayuh sepedanya tanpa tujuan. Sepeda berkeranjang membawanya ke sebuah tribun lapangan sepak bola. Entah apa angin yang membawa Kelly mengunjungi tempat seperti itu. Ia hanya mengikuti cahaya matahari senja yang rasanya lebih nikmat jika dilihat dari atas sana.

Arena olahraga terlihat dari atas tribun. Tempat olahraga memang dibuat dalam satu wilayah. Ada lapangan sepak bola, lapangan volley, lapangan basket, hingga tennis. Ada satu yang menarik perhatian Kelly adalah lapangan sepak bola ini. Selain luas, hanya lapangan ini yang memiliki tribun supporter yang memanjang sepanjang lapangan.

Jingganya cahaya senja menerpa diri Kelly. Masih terasa hangat walaupun sinar mentari memancar manja. Angin mendayu melewati dirinya, seakan ingin membawa Kelly terbang mengawang. Momen ini yang memang ia cari, menikmati waktu dalam kesendiriannya. Kelly mengambil kripik kentang dan minuman cola yang ia beli di kantin sekolah. Ia berusaha menikmati setiap detik senja yang menenangkan.

Perpaduan rasa asin dari kripik kentang dan rasa cola yang menyegarkan, membuat Kelly ingin berteriak. Begitu nikmat jika dinikmati sendirian di sini.

"Tidak ada yang lebih nikmat dari keripik kentang dan cola di sore hari seperti ini," teriak Kelly.

Kelly melihat ke sekeliling berharap tidak ada yang mendengar teriakannya barusan. Tidak ada siapa-siapa di sekitarnya. Hanya ada dirinya dan angin yang tak sengaja menerpa.

Tiba-tiba Kelly mendengar sebuah jepretan foto di belakangnya. Ia langsung menoleh dan mendapati seorang pria sedang memegangi kamera di sana. Pria itu tegak sambil melempar senyum pada Kelly. Kelly menghabisi sisa cola-nya lalu menyerocos ke pria tersebut.

"Eh, kamu tidak sopan sekali. Memotret orang sembarangan. Memang kamu siapa berani-beraninya memotret aku, hah?" protes Kelly sambil melempar botol cola ke arah pria itu.

Pria itu berhasil menghindar. Ia masih mempertahankan senyum tipisnya itu. Bola matanya seakan termakan oleh sipitnya kelopak mata, apalagi tatkala ia tersenyum. Dua buah lesung pipi seakan tergali di masing-masing pipinya. Wajah oriental yang begitu kental sungguh terasa walau hanya melihat dengan sesaat.

"Kamu itu yang ribut. Mengganggu orang sedang tidur, tahu! Kalau makan tidak perlu pakai acara teriak segala," balasnya.

"Aku tidak mau tahu, kamu harus hapus foto aku," protes Kelly. Telunjuknya mengarah kepada pria berkamera itu.

"Tidak mau. Aku mau menyimpan foto gadis yang menyerocos seperti knalpot bocor."

"Dasar!"

Kelly menyandang tasnya dan bersiap-siap untuk pergi dari hadapan pria itu. Ia kesal dengan ketidaksopanan pria yang baru saja mengambil gambar dirinya diam-diam, apalagi oleh orang yang tidak ia kenal sama sekali.

"Nama kamu Kelly, kan?" tanya pria itu.

"Masa bodoh!" balas Kelly mengabaikan pertanyaan pria itu. Dirinya benar-benar kesal kali ini.

"Handphone kamu ketinggalan," balasnya. Pria itu menunjuk handphone Kelly yang ketinggalan.

Langkah Kelly berhenti, lalu berbalik arah. Handphone-nya benar-benar ketinggalan. Dengan perasaan kesal dan malu, ia kembali berjalan ke arah tempat ia duduk tadi. Kelly mengambil handphone-nya sambil memandangi pria itu dengan tatapan sinis. Pria itu hanya tersenyum melihat kesalahtingkahan Kelly.

Kelly mengayuh sepedanya untuk pulang. Ia masih tidak percaya bertemu dengan anak seperti itu, apalagi di hari pertamanya sekolah.

***

Kelly VannesaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang