25. Tangisan Cinta (2)

312 14 0
                                    

25. Tangisan Cinta (2)

Kejadian itu berlalu. Biarlah hilang ditelan waktu. Kelly tidak ingin mengingatnya kembali. Hal itu bagaikan kenangan yang mengoyakkan luka lama yang mengering. Ia kembali terluka oleh luka itu. Walaupun itu sudah berlalu─satu hal yang Kelly tidak mampu─Ia tidak bisa melupakan hal itu dengan mudah. Melekat bagaikan ukiran batu yang ada hatinya.

Senja melebur ke awan tipis di sebelah barat, memberikan bekas-bekas jingga yang terang jika dilihat dengan mata telanjang. Jika diperhatikan dengan teliti, matahari benar-benar merangkak perlahan ke sebelah barat. Semakin menjauh, semakin meredup cahayanya. Awan-awan pasti akan kehilangan jingganya yang indah.

Alena masih lengkap dengan seragam sekolahnya. Ia duduk bersila di pondok bambu halaman rumah Kelly. Tangannya membolak-balikkan majalah fashion koleksi mama Kelly. Kelly memang jarang membacanya. Baginya majalah seperti itu tidak akan mempengaruhi bentuk fashion dirinya. Namun beda dengan Alena. Wanita manis berambut terikat itu terlihat antusias dengan majalah itu.

Mata Kelly tak jauh-jauh dari Felix yang sedang bergerak lincah men-dribble bola basket. Ia berlari hingga melakukan tembakan ke dalam ring basket. Pria sipit itu lama-kelamaan seperti tidak ingin-ingin jauh dari Kelly dan Alena. Ia mengekor ke mana saja mereka pergi, termasuk ke rumah Kelly.

Kelly tidak mempermasalahkan itu. Ia mengerti bagaimana saat seseorang tidak begitu mudah berbaur dengan orang lain dan hanya bisa berinteraksi dengan orang-orang yang benar-benar ia kenali. Kelly bisa merasakan kesepian itu dalam diri Felix. Seorang diri tanpa seorang pun saudara kandung. Hanya bisa membagi senyum dengan diri sendiri. Ia begitu mengerti akan hal itu.

"So, jadi itu yang membuatmu menangis waktu itu?" tanya Alena tanpa menoleh kepada Kelly. Matanya fokus ke rok rimpel selutut yang menjadi referensi fashion pada musim panas.

Kelly menghela nafas. Sebenarnya ia tidak ingin membahas tentang hal ini lagi. "Iya, waktu itu Nathan datang dan aku buru-buru mematikan panggilan denganmu."

"Sudahlah, masih banyak Nathan lain di luar sana. You have to move on, Kell. Cukup penantianmu bertahun-tahun ini membuatmu semakin sedih."

Tidak tahu apa yang ingin Kelly jawab. Ia menatap ke rerumputan hijau yang seakan siap menampung air mata yang jatuh kapan saja. Fokusnya hilang, saat derap langkah Felix mendekat. Keringat pria itu membasahi dahinya yang lebar. Ia menyisir rambut basahnya dengan jemari. Tampak menggoda saat helaian rambutnya menyibakkan bulir-bulir keringat ke udara.

Nafasnya masih tidak beraturan. Dadanya kembang-kempis menarik udara segar. "Thanks, Kell," ucap Felix saat menyambut botol minum dari tangan Kelly. "Ekspresi sedih apa itu? Masih kepikiran?" tanya Felix tatkala melihat wajah Kelly.

"Biasa, baru patah hati," potong Alena. Ia menutup majalah fashion itu. Dari sekian banyak model fashion yang ia lihat, tidak satu pun yang sesuai dengan kantongnya.

Felix mengangguk. Tangannya menggapai rambut Kelly yang tergerai. Ia mengacak pela rambut Kelly. Kelly hanya diam, hanya senyumnya saja yang membalas kelakuan Felix itu. "Jangan menyerah, ya? Nathan pasti kembali, kok. Dia cuma lupa jalan pulang dan tersesat ke rumah yang lain."

Kelly tertawa. Alena menahan tawanya di ujung bibir, tapi pada akhirnya pecah juga. Kalimat Felix terdengar tidak seperti dirinya. Entah dari mana Felix mengutip kalimat itu.

"Kenapa tertawa? Ada yang salah dengan kalimatku," protes Felix.

"Tidak ada yang salah, kok. Sudah, aku tidak mau membahasnya lagi. Aku ke dalam dulu, mau mengambil kripik kentang dan cola faforitku." Kelly masih menyimpan tawa. Pikirannya masih terbesit kalimat yang baru saja Felix ucapkan.

Jika Nathan sedang tersesat, apa dia akan kembali? pikirnya dalam hati.

Derap langkah seseorang terdengar mendekat ke arah mereka. Langkah kakinya besar karena postur tubuhnya yang tinggi. Rambut klimis tersisir ke belakang. Hidungnya mancung sempurna memertegas wajah pria itu. Satu ciri khas darinya, matanya tetap saja teduh. Bahkan mengalahkan teduhnya hari di langit mendung. Dingin, tak bisa diterka. Kepala Alena tegak menyaksikan pria itu berjalan mendekat, sementara Felix menahan tangannya agar tidak terus mengepal.

"Kenapa anak itu ke sini?" tanya Felix pada Alena. Tampak wajah emosi yang tercurahkan dalam setiap garis wajahnya. Felix berdiri hendak menahan langkah Nathan yang semakin mendekat. Namun, tangannya ditahan oleh Alena.

"Sudah jangan emosi, Felix. Mungkin dia ada maksud lain," jawab Alena. Tangannya tidak bisa menahan Felix untuk mendekati Nathan. "Felix!"

Felix berhenti di depan Nathan. Tatapan mereka beradu seakan ingin mengalahkan satu sama lain. Cara berdiri Felix mengisyaratkan Nathan untuk segera pergi. "Mau apa kamu ke sini? Sudah puas kamu membuat Kelly menangis?"

Tangan Nathan melempar sweater merah muda milik Kelly. "Aku hanya mau membalikkan ini. Kemarin tertinggal di rumahku. Serahkan kepada Kelly," ucapnya dengan singkat. Tak lama kemudian ia berbalik diri dan pergi.

"Apa maksud semua ini, Nath? Kenapa kamu tidak pernah memedulikan perasaannya sedikit pun? Tahukah kamu berapa lama ia menunggumu selama ini?" tanya Felix berkali-kali. Ia melempar kembali sweater itu kepada Nathan hingga mengenai kepalanya.

Langkah Nathan terhenti. Ia menggenggam sweater Kelly yang menempel pada kepalanya dengan keras. "Sederhana saja, aku sudah punya orang lain."

"Begitu cara kamu membalas orang yang memiliki kepedulian yang sangat denganmu. Apa kamu tidak punya perasaan sedikit pun dengannya?!" balas Felix denga nada tinggi. Tepat di hadapan Nathan, ia menggenggam kerah Nathan dengan keras.

Melihat Felix dan Nathan semakin panas, Alena berlari melerai mereka. Namun, tangan lemahnya tidak mampu untuk memisahkan tangan Felix dari kerah Nathan. "Felix, sudah! Ini kelewatan!"

"Tidak, Alena. Aku tidak suka jika Kelly disakiti seperti ini," balas Felix.

Nathan dengan mudah melepaskan gengaman Felix dari kerahnya. Ia mendorong Felix selangkah ke belakang. Ingin sekali ia melepaskan lesatan ke wajahnya, tapi Nathan masih bisa mengurungkan niatnya itu.

"Aku tidak pernah bermaksud menyakiti Kelly, asal kamu tahu. Dan, harusnya kamu senang jika aku menolaknya. Bukankah kamu menyukai Kelly?"

Felix terhenyak oleh kalimat Nathan, menghantamnya keras hingga menembus hatinya. Tatapan sinisnya pada pria itu perlahan melemah. Ia seakan kehilangan kekuatan untuk menatapnya kembali. Perasaan itu, perasaan pada Kelly, perasaan yang selama ini ia simpan untuk wanita itu, seakan terbongkar dalam satu senja. Terburai tak menjadi rahasia.

Kelly mendengar kalimat yang diucapkan Nathan. Dalam rasa yang tidak percaya, ia berlari mendekat untuk memisahkan mereka berdua. Pikirannya berderu mengulang kalimat Nathan: Felix menyukainya.

Tangan Kelly menggeser Felix ke belakang, seakan melindunginya dari Nathan.

"Aku tidak peduli jika Felix menyukaiku. Aku akan tetap didekatnya. Kuharap kamu segera pergi dari sini!" perintah Kelly pada Nathan.

Pria itu mengangguk dan berajak pergi. Langkahnya meninggalkan jejak-jejak kebencian di hati Kelly.

***

Kelly VannesaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang