10. Kekosonga Dalam Hati (2)

429 27 0
                                    

10. Kekosonga Dalam Hati (2)




Cahaya lampu menerangi kanvas lukis di hadapan Nathan. Jemarinya mengelus permukaan kanvas yang sedikit kasar. Tidak ada imajinasi yang terpikirikan oleh otak kreatifnya. Terbesit kenangan-kenangan indah yang pernah menyelam dalam kanvas putih itu. Coretan tak beraturan itu kembali terngiang dalam pikirannya. Wajah Kelly yang riang memegang krayon di saat awal mereka belajar menggambar bersama.

Rasanya ia sendiri yang menjadi penunggu ruang seni sekolah. Jarang anak kesenian yang lain ke sini sewaktu jam-jam biasa. Mereka hanya mengunjunginya sewaktu ada acara-acara seni untuk berlatih.

Ruangan ini cukup luas. Bisa untuk menampung seluruh cabang seni di sekolah untuk berlatih. Di dalamnya masih ada ruangan-ruangan yang diisi dengan alat-alat band, drumband, orkestra, musik tradisional, dan alat lukis yang acap kali Nathan gunakan. Sedangkan di tengah-tengah, terdapat area untuk para penari berlatih.

Tangannya melepas kuas lukis yang digenggam. Telapak tangannya sedikit berkeringat karena ia menggenggamnya dalam waktu yang lama. Rasanya bosan Nathan menuntunnya untuk keluar.

"Tidak jadi melukis?" tanya seorang wanita saat Nathan berbalik. Wajahnya manis dengan dengan dagu yang lancip. Bibirnya selalu tipis saat tersenyum. Tidak lupa pula rambut sebahu yang selalu ia ikat agar tak tergerai ke segala arah. Kadang wanita yang mengikat rambut dapat membuat penampilanya semakin menarik. Banyak pria yang menyukai hal itu.

"Ternyata kamu, Natasya. Mengagetkan saja," balas Nathan. Ia mendekat kepada Natasya yang bertegak pinggang di sana.

"Harusnya kamu senang karena setiap hari didatangi oleh wanita secantik diriku," kata Natasya sambil menempelkan badannya ke Nathan. Tubuh Nathan terasa empuk oleh otot-otot yang kokoh. Natasya berlari ke tengah area menari. Langkahnya panjang saat berusaha melompat. Nathan memperhatikan tingkah Natasya yang menirukan seorang penari balet melalui cermin raksasa di dinding.

"Kamu cocoknya jadi penari tradisional saja. Tarian melayu cocok untukmu," puji Nathan dengan dahi mengernyit.

"Aku lebih suka tarian jawa. Lebih anggun, kurasa."

Natasya menirukan gerakan yang biasa dilakukan pada tarian khas jawa. Tangannya melentik bergerak memutar. Pinggulnya bergerak sekaligus melekuk dalam sudut yang sempurna. Ia melangkah ke depan menyontohkan tariannya pada Natha. Matanya menatap Nathan dan berharap pria itu memberi komentar secepatnya.

Nathan tertawa. Ia tak tahan melihat ekspresi lucu Natasya saat meniru gerakan tarian khas jawa. "Harusnya pinggul kamu harus lebih melekuk lagi," kata Nathan sambil memperagakannya. Ia menekan punggung Natasya agar membentuk lekukan sempurna. "Dagu harus naik serta tangannya melentik seperti ini."

Sentuhan tangan Nathan di tubuh Natasya seakan menggetarkan dirinya. Sesuatu bergerak perlaha di bawah kulitnya hingga menjalar mendebarkan dada.

"Kamu cukup tahu tentang menari," puji Natasya sambil menatapnya melalui cermin.

"Aku ini seniman serba guna." Ia tersenyum. Tatapannya teduh menyorot wajah Natasya. Perlahan Nathan mengusap kepala Natasya. Begitu lembut terasa helai demi helai rambut Natasya bersentuhan dengan tangan kasarnya. Ia beruntung selama ini ada wanita yang sepertinya yang selalu menemani serta menyemangatinya.

Tiba-tiba ia teringat kepada Kelly. Lagi-lagi tentang kenangan masa lalu bersamanya. Tawa yang tak henti keluar tatkala mereka bercerita pengalaman lucu masing-masing. Mereka tahu candaan itu garing, tapi mereka tetap berusaha untuk tertawa.

Nathan diam sejenak. Tatapannya kosong menatap cermin raksasa. Tangannya masih menyentuh jemari Natasya nan lembut.

Selama inikah kekosongan dalam hatiku hingga aku lupa apa rasanya?

Ia menatap mata Natasya dalam-dalam. Sesuatu telah terbayang dalam batinnya. Bagai senja yang menguning di ufuk barat, dengan alunan udara lembut yang menyentuh wajahnya, semuanya bercerita hingga terbesit kembali di dalam hati. Perasaan itu, Nathan kembali merasakan. Hatinya terlalu lama membeku dan dingin, tanpa pernah menyentuhnya kehangatan perasaan.

"Benarkah alasan semua itu adalah dia, Nathan?" tanya Natasya tiba-tiba

"Maaf, Natasya," jawab Nathan dengan singkat. Ia menyingkirkan sentuhannya dari tangan Natasya.

Natasya menghela nafas. Suasana berubah drastis dalam beberapa detik. "Ingat tidak kalau kita pertama kali bertemu? Tepat di sini. Kamu juga mengarkanku menari waktu itu. Dan sejak itu perasaanku─"

"Aku bingung Natasya. Kebersamaan itu selalu ada akhirnya. Itu yang aku takutkan." Ia membuang muka. Rasanya tidak sanggup dirinya untuk menatap Natasya lebih lama lagi.

Wanita itu mengangguk. Ia sebenarnya tak mengerti perkataan Nathan. Pria itu cukup lama menggantungkan perasaannya, menangguh jawaban yang selama ini ia tunggu.

"Oke, sekarang aku mengerti. Kelly yang jadi alasan semuanya hingga kita tidak bisa lebih dari ini. Kamu jahat Nathan, kamu tidak mengerti perasaan wanita jika tidak ada kejelasan."

"Tidak dia saja yang jadi alasannya. Kamu harus mengerti hidupku, Natasya. Orangtuaku, keadaan aku, dan semuanya. Aku tidak lama lagi bakal pergi jika semua tabungan aku sudah cukup. Aku ingin belajar seni," ucap Nathan. Ia menyentuh kedua bahu Natasya untuk memberikan penjelasan.

"Kalau dia bukanlah sebuah alasan, apalagi yang kamu tunggu, Nath. Aku lelah setiap detik yang kuhabiskan hanya untuk menunggu. Ada orang di sini yang mencintaimu."

Natasya melepaskan tangan Nathan. Air matanya tak sanggup untuk terbendung. Menjadi garis bulir air mata yang memanjang sepanjang pipinya. Ia tak ingin menatap wajah pria itu untuk saat ini. Rasa cinta dan sakit menyatu jadi satu hingga ia tak bisa membedakan antara dua perasaan itu.

"Natasya!" panggil Nathan sambil menarik tangannya.

***

Kelly VannesaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang