33. Kembali Untuknya (2)

305 17 0
                                    

33. Kembali Untuknya (2)

Langkah menuntun mereka ke sebuah ayunan putih di tepi kolam renang. Setelah mengambil minuman soda─tentu saja Kelly memilih minuman cola─mereka duduk berhadapan berdua. Rasanya lapang sekali jika ayunan besi ini hanya dinaiki oleh dua orang karena ayunan ini dapat menampung enam orang sekaligus. Besi berdecit tatkala Felix menggerakkannya dengan tangan.

Malam seakan bernyanyi melantukan harmoni-harmoni yang hanya bisa dirasakan bagi orang yang menikmati malam. Bernaungkan bintang-bintang terang yang tak akan pernah padam. Kokoh menggantung di langit menemani rembulan bersinar mematulkan cahaya mentari. Bulan tersenyum karena berbentuk sabit. Sedangkan bintang seakan memicing karena berkelap-kelip. Mata Kelly terhipnotis melihat langit yang terang itu.

Angin malam yang dingin kalah dengan kehangatan yang ia rasakan. Kehangatan sosok Felix di depannya dan ditambah dengan suasana ria di sekitar membuat dirinya bergairah. Namun, selapis angin membawa lirikan matanya kepada sosok pria di seberang kolam renang. Berdiri tegap dengan setelan tuxedo. Rambut panjangnya mengkilap tersisir menyamping. Ia terdiam melirik orang banyak dengan tatapan teduhnya itu. Sesekali ia tersenyum kepada orang yang sedang menyapanya.

Ia merasakan perih yang selama ini ia rasakan. Lelahnya menunggu dan pahitnya sebuah kenyataan cinta. Ia rela menunggu bertahun-tahun demi seorang pria yang pada akhirnya menolak dirinya. Luka lama yang mongering, menjadi basah dan bernanah. Cukup sulit untuk membuatnya sembuh kembali.

Sungguh, memalukannya dirimu, Kell, ucapnya dalam hati. Namun, ia tidak kunjung menjauhkan lirikan matanya dari Nathan di seberang sana. Pria itu memang sedap untuk dipandang. Namun, ah sudahlah. Kelly tidak ingin membahasnya.

"Sedang mencuri pandang ke Nathan?" tanya Felix tiba-tiba. Fokusnya berubah begitu saja kepada pria di hadapannya. Ia tidak bisa mengelak tengah memerhatikan Nathan sedari tadi.

"Malangnya pria itu. Baru saja pisah dengan Natasya. Dia kesepian," jawab Kelly. Ia meneguk cola di gelas yang ia pegang. Batinnya seakan merasakan aura kehampaan yang dipancarkan oleh pandangan Nathan di sana.

"Aku tahu kamu masih berharap dengannya, Kell. Kamu pasti bisa, aku mendukungmu."

Kelly tersenyum. Bahkan lebih manis dari bulan yang bergantung di langit sana. "Kamu baik sekali, Felix. Apa tidak masalah bagimu jika aku terus mengejar dirinya, sementara kamu ... tahu sendiri."

"Cara senyummu kepada Nathan berbeda dengan caramu tersenyum padaku. Hati tidak bisa ditipu, ia memilih orang yang ia inginkan," kata Felix. Selapis senyum tipis terpasang saat menatap wajah Kelly. "Dan aku sadar itu. Kamu bukanlah untukku, tapi untuk Nathan."

Betapa putihnya hati pria sipit itu. Suci meneduhkan perasaan. Ia rela menanggung pedih untuk orang yang ia sayangi. Berkorban demi seseorang yang ia anggap spesial. Kelly memandang matanya dalam-dalam. Setiap gerak tubuhnya tersimpan di pupil mata lebar berwarna hitam itu. Bergelimang cahaya pantulan pancaran bulan. Sorotnya lurus menatap sepi.

Lalu Kelly ingat tentang pernyataan Felix ketika dirinya berkunjung ke rumahnya.

"Soal masa lalumu. Maaf sebelumnya, tentang kamu yang tidak mengenal orang tua kandungmu," ucap Kelly. Felix langsung melirik oleh pertanyaannya.

"Oh, itu. Kemarin aku tidak sempat menjelaskannya padamu." Felix menegak minumannya. "Aku bukanlah anak kandung dari kedua orangtuaku. Kamu bisa lihat mata ini sesipit apa, kan? Itu tidak ada mirip-miripnya dengan orangtuaku."

"So, di mana orangtua kandungmu?"

"Sudah tidak ada. Kedua orang tuaku keturunan Tionghoa. Mereka hilang ditelan laut. Waktu itu kami hendak menyeberang ke Pulau Belitung yang notabene tempat tinggalku dahulu," ucap Nathan. Matanya menatap ke langit malam. Hatinya berharap kesenduan ini dapat didengar orangtua kandungnya di alam sana.

"Apa yang terjadi?" tanya Kelly.

"Kapalnya karam kelebihan muatan. Kedua orangtuaku hilang beserta tiga orang saudaraku. Sementara itu, aku yang masih kecil, mereka titipkan kepada seorang pria yang menyelamatkan hidupku." Senyum yang ia lemparkan terasa berat olehnya. Kenangan itu terlalu pahit untuk diingat kembali. "Itulah ayah tiriku. Akhirnya mereka mengadopsiku."

"Ternyata hidupmu lebih berat daripada yang kuduga, Felix. Tidak bisa kubayangkan bagaimana kamu melewatkan semuanya," kata Kelly untuk menyemangatinya. Ia memegang jemari-jemari Felix yang dingin ditelan angin malam.

Wajahnya yang tadi padam, kini perlahan bersinar saat kehangatan tangan Kelly menjalar ke tubuhnya. "Namun, aku beruntung mendapat orangtua tiri sebaik mereka. Tuhan punya jalan lain untuk membahagiakanku. Meski jalan yang Ia tunjukkan tidak pernah kita duga sebelumnya."

"Maaf, aku tidak bermaksud membuatmu kembali mengingat masa lalu yang mungkin saja tidak ingin kamu ingat lagi."

"Bukankah semua orang punya masa lalu? Masa lalu tak akan pernah bisa pergi. Dia ada di sekitar kita. Dalam kenangan yang tak mungkin pernah hilang," ucap Felix. Ia membuang matanya ke para undangan yang lain. Cukup sulit baginya merangkai kalimat yang baru saja terucap.

Kelly menangkap lambaian tangan Alena di seberang kolam renang. Wanita itu memanggil namanya dengan keras. Kelly balas melambai. Ia tahu maksud Alena melambaikan tangan padanya. Ada saja hal yang Alena ingin lakukan bersamanya. Sebuah kantong besar berisikan beberapa bungkus keripik kentang menantinya di sana.

"I have to do something with that girl," kata Kelly sambil menunjuk Alena yang terus saja melambai ke arah mereka. Felix mengangguk. Ia bersiap-siap untuk mengikuti Kelly. "Just girl, you know?"

Felix kembali duduk dengan wajah malu padam. Ia mengangkat alisnya lalu berkata, "Silahkan. Nikmati waktu kalian. Aku mau menggoda beberapa wanita di sini."

Langkah kakinya berjalan menyelusuri tepi kolam yang basah. Sungguh ayunya jalan wanita itu di mata Felix. Melenggak-lenggok pinggung kecil nan imut itu. Tanganya yang lemah bergoyang seiring pergerakan langkah. Bulan seakan mengikuti langkah kecilnya. Tidak ingin tinggal untuk menaungi senyum tipis menawan itu.

Ingin sekali ia membelai rambut hitam panjangnya itu, menyibakkan wangi rambutnya yang harum. Sungguh terasa sekali kelembutan dari helaian gerai rambutnya. Meluap-luap imajinasi tak terbendung di pikiran Felix, meletup-letup ingin terjadi. Kebaikan hati dan keikhlasannya dapat membendung semua fantasi yang ia ciptakan sendiri. Sebuah fakta menguak begitu saja sedari awal mereka bertemu.

Ia bukanlah untukku.

***

Kelly VannesaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang