04. Someone Special (2)

629 37 0
                                    

04. Someone Special (2)

"Hujan tak juga selalu mewarnai, kadang jadi badai bak hati nan terlukai." -JAI

Kaki Alena berdiri di atas pijakan yang ada di roda belakang. Semilir angin menerpa wajah Kelly dan Alena saat melaju di atas sepeda, menembus udara walaupun hanya dengan mengayuh. Cahaya senja yang hangat menuntunnya melaju di jalanan. Tak peduli bagi mereka orang-orang yang melihat, mereka terus berteriak senang kegiranga.

"Inilah nikmatnya bersepeda, Alena," kata Kelly pada Alena. Matanya fokus memadangi jalan di depan.

"Aku tidak mengerti. Aku tidak pandai naik sepeda," teriak Alena sambil membuka tangannya bagaikan berusaha memeluk angin.

Kelly semakin mengayuh kencang pedal sepedanya ke sebuah tempat. Laju sepeda membuat rambut panjang mereka tergerai ke segala arah. Teriakan Alena menandakan dirinya sangat menikmati udara yang menerpa. Orang-orang yang berpapasan dengan mereka hanya memandang aneh dua wanita ini.

Semuanya berakhir tatkala mereka duduk di tribun lapangan sepak bola. Kelly dengan cepat membuka keripik kentang yang sudah ia siapkan sebelumnya. Sementara itu Alena masih terpana dengan pemandangan area olahraga sekolah yang cukup luas.

"Pernah tidak kamu punya orang yang begitu spesial?" tanya Alena tiba-tiba.

Pertanyaan Alena menarik perhatian Kelly. Kelly mengambil secubit keripik kentang yang mereka makan bersama. Bunyi soda yang menggelegar dalam botol minuman cola begitu terdengar menyegarkan.

"Spesial itu relatif. Kedua orangtuaku juga spesial," balas Kelly dengan dingin. Ia tahu apa yang sebenarnya Alena tanyakan.

"Maksudku, seperti orang yang begitu berarti bagi kita. Kita tidak mau lepas darinya walaupun sedetik saja."

Kelly meneguk cola yang dibuka oleh Alena. Ia meraskan kesegaran cola yang menggigit di kerongkongannya. Ia berpikir sejenal untuk mencari jawaban yang tepat.

"Seperti makhluk yang disebut pacar? Hehehe ...." tanya Kelly.

Alena mengangguk. Matanya menatap langit yang bergerak perlahan. Cahaya mentari senja membuat bayangan jingga yang memanjang di awan, menembus serat-serat awan yang lembut. Besar, terang terpantulkan cahaya mentari. Ia tampak takjub dengan pemandangan sekolah jika dilihat dari tribun lapangan sepak bola.

"Ya, bisa jadi. Namun, sepertinya kita masih terlalu cepat memikirkan hal yang dinamakan cinta."

"Pernah ... aku pernah punya orang yang spesial seperti itu. Aku dulu punya sahabat yang selalu ada buatku. Aku tidak punya banyak teman. Namun, dirinya seorang cukup bagiku," kata Kelly.

"Apa yang terjadi dengan kalian?" tanya Alena lagi.

Kelly menarik nafas. Perlu tenaga untuk mencurhatkan hal ini kepada orang lain. Kembali ia gali kepingan memori yang masih segar dalam ingatannya. "Ia pergi karena karena keluarganya pindah. Waktu itu kami masih SD. Dan semenjak itu, aku merasa kesepian. Ya, seperti yang kamu bilang, kita tidak bisa lepas darinya walaupun hanya sedetik."

Mereka berdua hening sejenak. Alena mencerna curhatan Kelly mengenai masa lalunya. Ia berusaha memahami perasaan sahabatnya itu.

"Pasti itu cukup berat bagi kamu, Kell." Alena menempelkan kepala Kelly ke bahunya.

Lembutnya bahu Kelly membuat dirinya ingat akan sesuatu. "Rafael teman sekelasku bilang, kalau dia lihat cowok yang ada di ruangan seni itu. Mungkin, itu pria yang kamu maksud."

"Oh ya? Bisa jadi."

"Dan dia bilang kalau pria itu bakal masuk ke kelasku," kata Kelly.

Alena meneguk cola yang hanya tinggal satu tegukan lagi. Ia sedikit tersedak saat mendengar kalimat Kelly.

"Aku yakin, kamu bakal langsung suka dengan dia," balas Alena dengan yakin.

"Ah, kamu bisa saja, Alena. Aku bukanlah orang yang memikirkan hal itu."

Alena mengangguk. Ia merasakan ada hal yang kurang dari Kelly. "Kita mungkin terlalu cepat memikirkan hal yang namanya cinta. Namun, apa salahnya perlahan kita mengenalnya."

Kelly tersenyum. Tak ada terbesit dalam pikiran Kelly selama ini untuk mengenal cinta. Baginya cinta itu hanyalah secercah harapan belaka. Jatuh terlalu dalam dengan yang namanya cinta, merintih pedih ketika semuanya berpisah.

Mereka berdua mendengar gerak langkah seseorang dari belakang. Kelly dan Alena merasakan hawa yang tidak mengenakkan. Mata mereka saling bertatapan saat menyadarinya.

"Hai," kata seseorang dari belakang mereka. Suara yang berat membuat mereka berdua terkejut.

"Astaga," kata Kelly dan Alena bersamaan. Suara jepretan foto terdengar dengar bersamaan dengan suara terkejut mereka. "Kamu lagi!!" Kelly menunjuk pria berkamera yang ada dihadapannya. Ia sangat kesal denga senyum licik pria itu.

"Jadi ini yang kamu bilang pria aneh itu, Kell?" tanya Alena dengan kesal. Ia perhatikan wajah pria yang baru saja datang tiba-tiba itu, tertawa licik sambil melihat layar di kameranya. Matanya menyipit hingga tak menampakkan bola matanya. Dua lesung pipi menampakkan diri tatkala senyum licik keluar dari pria sipit itu.

"Iya, benar. Dari kemarin anak itu memang menyebalkan. Memotret orang dengan sembarangan," kata Kelly sambil melempar botol cola.

Pria itu tertawa saat melihat hasil jepretannya di layar kamera. Tampak lucu dan menggemaskan wajah mereka berdua saat terkejut. Tak ia pedulikan botol cola yang menghantam tubuhnya.

"Eh, malah ketawa lagi!" protes Kelly sambil mengernyitkan dahi.

"Santai, dong. Seperti itukan perlakuanmu dengan teman sekelasmu?" ujarnya.

"Teman sekelas?" tanya Kelly. Matanya yang menatap Alena langsung mengarah ke pria itu dengan tajam.

"Perkenalkan, aku Felix Ginza."

"I don't care!!!" Kelly langsung menarik tangan Alena untuk mengajaknya pulang.

Lagi-lagi Kelly dibuat kesal oleh kelakuan Felix yang sembarangan memotret seseorang. Tidak hanya sekali, sekarang adalah yang kedua kalinya. Selain itu, ini juga menjadi kekesalan pertama Alena dengan pria itu. Ternyata pria itu yang pernah diceritakan Kelly padanya.

"Kelly, aku tahu pria yang sedang kalian bicarakan," kata Felix dengan keras agar mereka terdengar.

Langkah Kelly terhenti oleh perkataan Felix. Ia berbalik badan untuk melihat mata licik Felix. Ia benar-benar tidak suka orang yang menguping pembicaraan orang lain, apalagi mengenai masa lalunya.

"Kami tidak peduli!" protes Kelly dengan nada tinggi. Kelly dan Alena benar-benar pergi meningggalkan Felix.

Tentu saja kamu peduli, Kell, kata Felix dalam hati.

***

Kelly VannesaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang