37. Akan Terus Menunggumu (2)

288 14 0
                                    

37. Akan Terus Menunggumu (2)



Ia tidak mengerti kenapa pertemuannya ini singkat sekali. Betapa kesepiannya Kelly saat melawan rindu bertahun-tahun tatkala Nathan pergi meninggalkannya tiba-tiba. Hanya menitipkan sebuah surat kecil origami berwarna merah yang mendarat di karpet pintu utama rumahnya, tepat seperti saat ini. Kelly tidak puas hanya dengan memandang wajah Nathan dari jauh. Ia ingin dekat dan lebih dekat lagi. Kelly mencintai pria itu.

"Senja itu adalah aku. Di saat itulah aku selalu memanggil namanya. Kita harus mengejarnya," ucap Kelly. Nafasnya masih tertahan oleh isak tangis yang masih tertinggal.

"Pakai mobilku, kita tidak boleh terlambat." Alena menggantungkan kunci mobil di jemarinya.

Tidak menunggu bel pulang, mereka menyelinap keluar melalui celah gerbang yang terbuka, lalu mengambil mobil Alena di parkiran. Felix melajukan mobil Alena selaju yang ia bisa. Jika terlambat, bisa-bisa Felix Nathan sudah pergi dan tidak akan bertemu dengan Kelly. Andai saja ia menyebutkan kapan ia akan pergi, Felix bisa memberikan surat itu secepatnya. Namun, Nathan meminta untuk memberikan surat itu tepat hari ini, tanpa detail waktu yang pasti.

Seperti biasanya, halaman rumah Nathan selalu dipenuhi oleh daun-daun kering yang berjatuhan tanpa henti. Halaman yang besar untuk sebuah rumah setengah kayu yang sederhana. Cat biru di bagian depan rumahnya mulai memudar karena umur. Sedikit bernoda tepat di bawah jendela depan. Sebuah meja bundar bertengger di teras rumah, tempat dirinya merenung hidup dalam pekatnya kopi.

Kelly memanggil-manggil nama Nathan dari depan pintu, mengetuk-ngetuk menggunakan telungkup tangannya. Suaranya parau seiring tidak adanya seorang pun yang menyahut dari dalam. Tampak dari jendela, rumah sedang dalam keadaan gelap. Hanya menerima cahaya mentari senja yang redup.

Panggilan Kelly masih tidak dijawab seorang pun. Ia berlari ke belakang rumah. Felix dan Alena mengikuti wanita itu. Tangan Kelly menghentak ke atas jendela kamar Nathan dengan keras. Itulah satu-satunya cara untuk memasuki rumah Nathan. Pria itu sendiri yang menunjuki caranya pada Kelly. Cara apabila Nathan dikunci dari dalam rumah akibat pulang terlalu malam.

Felix dan Alena terbelalak melihat Kelly memasuki rumah orang melalui jendela, seperti maling yang sedang menjarah rumah seseorang. Mereka tidak berani masuk, biarkan saja Kelly yang melakukan tugasnya.

Suaranya kembali memanggil nama Nathan. Tangannya membuka setiap gagang pintu yang ada, berharap Nathan ia jumpai saat membuka pintu yang ia buka. Akhirnya ia menyerah, Nathan tidak ia temukan. Pria itu benar-benar sudah pergi. Tangisnya pecah saat duduk di atas ranjang tempat Nathan biasanya tidur. Ia memecah tangisnya sendirian.

Di balik air matanya, Kelly melihat sebuah lukisan. Wanita itu tersenyum manis dalam sebuah karya apik dari tangan Nathan. Mata bulat lengkap dengan alis mata yang tebal. Berbulu mata lentik bagai gelombang pasang air laut yang menggulung. Semakin ia tatap, seakan dirinya sedang berkaca di cermin kanvas. Sebuah nama disudut lukisan tertuliskan sebuah nama: Kelly Vannesa.

Ia benar-benar mencintaiku selama ini, ucapnya dalam hati.

Seketika semangatnya berkobar lalu keluar dari jendela. "Kita susul Nathan di bandara."

"Bagaimana kamu bisa tahu jika ia pergi menggunakan pesawat?" tanya Felix.

"Nathan akan pergi jauh, kecil kemungkinan ia menggunakan bus atau mobil. Aku tahu ke mana tujuannya untuk pergi." balas Kelly.

Mereka beranjak menuju mobil dan pergi menuju ke bandara. Laju mobil Alena kembali memecah udara jalanan, meliak-liuk tidak peduli jika kendaraan lain bisa balas menghantam. Hanya sebentar mereka melalang buana bebas tanpa hambatan. Semakin lama kecepatan mereka menurun akibat kemacetan yang menunggu mereka di depan sana. Mobil terjebak macet sore. Kendaraan semakin banyak karena banyaknya orang yang balik dari pusat kota. Ditambah lagi dengan lampu merah yang menuntut kita untuk bersabar.

Dada Kelly berdebar-debar menunggu mobil kembali bergerak. Felix hanya bisa memajukan mobilnya sekali-sekali. Macet sekali, bahkan tidak bergerak. Udara dingin dari air conditioner tidak mampu membendung keringat Kelly. Keringat dingin memenuhi dahinya, cemas tidak bisa bertemu dengan Nathan nantinya.

"Aduh, pakai macet segala!" Felix memukul stir mobil.

"Sebentar lagi lampunya hijau. Cepat, sebelum kita terjebak lagi dengan lampu merah," kata Alena.

Kelly masih saja menggigit jari tanpa berkata sedikit pun. Matanya memandang keluar melihat kendaraan yang tidak bergerak dari posisinya. Seketika lampu lalu lintas berubah menjadi hijau. Jarinya menunjuk tiang besi lampu lalu lintas. "Cepat, Felix! Sudah hijau."

Dari Jalan Kaharudin Nasution, Felix memutar stirnya ke kiri menuju Bandara Sultan Syarif Kasim II. Terlihat tulisan Pekanbaru Kota Madani berdiri megah tepat di trotoar jalanan. Kata-kata untuk menyambut para pendatang yang baru saja datang ke Pekanbaru. Felix semakin gila mengendarai mobil Alena. Jalanan menuju bandara memang sepi, kesempatan dirinya untuk menambah kecepatan.

Setelah turun dari parkiran, Kelly berlari menuju bandara untuk mencari batang hidung Nathan. Matanya hilir mudik mencari pria itu, tetapi yang ia lihat hanyalah orang-orang yang keluar-masuk bandara. Mereka berpencar mencari Nathan dan berjanji akan berkumpul di sana─tempat mereka berdiri─apabila sudah menemukan pria itu.

Kelly kembali menjelajah tempat yang masih bisa ia jangkau demi mencari pria dengan tatapan teduh itu. Pria yang selalu menatap sayu dirinya dalam keadaan apa pun. Pria dengan sebuah senyum tipis di bibirnya tatkala menyahut panggilan nama darinya. Sungguh kerinduan yang tiada tara. Kelly menikung hebat dan terjatuh ke lobang yang sama. Sepi dan hampa terasa saat sadar ia akan kembali berpisah dari pria itu.

***

Kelly VannesaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang