03. Someone Special

732 34 0
                                    

03. Someone Special

"Sepenggal nama yang memanggilku tatkala pagi, menerjang udara ketika senja, dan mengingatkanku indahnya senyum bintang berkemilau manja."
-JAI



Rumah itu tidak berpagar, hanya bunga memanjang yang menjadi pembatasnya dengan jalanan aspal. Tampak tidak terurus semenjak pemiliknya pergi bertahun-tahun yang lalu. Rumput-rumput sudah memanjang, begitu pula pohon-pohon tempat bermain sudah sangat rindang. Menyisakan pecahan memori yang Kelly kenang.

Rasanya baru kemarin ia bermain bersama bocah itu di sana. Bergelantungan di pohon-pohon untuk mengambil buahnya yang musiman. Lalu mereka menyambut buah yang jatuh menggunakan sehelai kaos yang dikenakan. Tak satu-dua kali dirinya pernah terjatuh dan terluka dari atas pohon itu. Namun, ia tidak pernah mengerti apa itu artinya sebuah luka. Tergantikan oleh riangnya senyum kecil dari masing-masing bibir mereka.

Tepat di saat kayuhan Kelly pada sepedanya mengarah ke rumah itu, ia melihat sebuah suasana lain. Pintu rumah itu terbuka walaupun tak ada kendaraan yang terparkir di sana. Rumput yang memanjang di halamannya yang luas, sudah mulai dipotongi. Terlihat lebih bersih dari biasanya.

Apakah rumah ini telah dijual? Kelly menerka dalam hati. Ia sangat berharap bocah itu keluar dari pintu itu dan kembali mengajak Kelly bermain bersama lagi. Jika itu memang terjadi, mungkin tidak akan seperti dulu lagi. Kelly bukan lagi anak kecil.

Matanya menangkap Mama sedang minum teh di teras depan. Tangannya membolak-balik majalah masakan yang terbit setiap bulannya.

"Ma, rumah Bu Wendi sudah dibeli orang, ya? Tadi Kelly melihat pintu rumahnya terbuka," tanya Kelly.

Jemarinya menarik gagang cangkir teh Mama. Ia meminumnya dengan perlahan.

"Bisa jadi. Sudah bertahun-tahun rumah itu tidak terjual." Mama melihat Kelly semakin nikmat menyeruput teh di hadapannya. "Eh, Kelly keasyikan minum teh Mama. Buat sendiri."

"Yah, Mama. Kelly letih dari warung." Kelly menyeruput teh buatan Mama lagi.

Kelly kembali memandangi foto lama di dinding kamarnya. Sekali lagi ia kembali mengingat bocah itu. Sorot matanya teduh bagai pohon berdaun rindang, sedangkan pupilnya lebar laksana melihat mangsa menyerang, bahkan bibirnya tak gentar untuk terus menebar senyum. Entah bagaimana rupa teman masa kecilnya sekarang..

"Kamu berjanji akan datang lagi, Nath." Kelly menunjuk wajah bocah itu.

Sudah berkali-kali ia mencari informasi mengenai Nathan. Sudah bermacam media sosial Kelly gunakan untuk mencari keberadaan Nathan. Namun, tetap saja Kelly tidak menemukan orang yang ia cari. Ia rindu sekali dengan suaranya yang cempreng memanggil nama Kelly dengan keras di depan rumahnya.

***

Sepatah dua patah kata mulai dapat ia katakana dengan teman sekelasnya. Ia lebih banyak berdiam diri daripada memulai pembicaraan. Perlahan namun pasti, ia sudah dapat mengenali teman-temannya, walaupun hanya sekedar saja. Berbagai macam model yang ia dapati setelah beberapa hari bersekolah. Mulai dari yang mulai yang pendiam, musisi, menyukai olahraga, dan banyak lagi.

Kelly tidak mendefinisikan dirinya masuk daftar yang mana. Mungkin saja sosok yang pendiam lebih melekat pada dirinya. Dalam sikap diamnya, ia suka sekali menuliskan kata-kata indah di buku pribadinya.

Laut tak akan tenang jika aku tak menatapmu.

Bahkan karang menangis dihantam gulungan ombak seperti rinduku.

Rapuh tak berdaya tanpa senyummu.



Hatinya yang tak tenang mulai berbicara dalam tetesan tinta yang menyerap pada kertas di buku pribadinya. Pikirannya terbesit kembali seseorang dari masa lalunya yang acap kali mengacaukan pikiran. Terlintas begitu saja, hingga jemarinya mulai menggoreskan sesuatu tanpa ia sadari. Tiba-tiba ia ingat sesuatu.

"Eh, kelas kita kurang satu orang. Di daftar nama dia ada," tanya Kelly pada Ghea.

"Yang Felix-Felix itu, ya? Tidak ada masuk beberapa hari ini," jawab Ghea.

Kelly memperhatikan wajah Ghea yang tampak menggunakan bedak yang terlalu tebal. Hidungnya lancip kemerah-merahan. Terlalu menor, tapi terlihat cantik dan menggoda.

"Namanya Felix, ya? Aku tidak tahu."

Tiba-tiba saja Rafael menoleh ke arah mereka berdua. Tangannya memegang handphone yang berbunyikan suara game RPG. Ia tersenyum pada Kelly dan Ghea. Sesuatu membuat dirinya tertarik memasuki obrolan Kelly dan Ghea.

"Felix Ginza maksudmu?" tanya Rafael.

Kelly dan Alena membalas senyum Rafael. "Nah, itu dia," jawab Ghea.

"Aku melihatnya kemarin. Cuma, dia tidak masuk kelas. Tidak tahu kenapa." Rafael kembali menatap layar handphone-nya. Ia tampak bersemangat ketika tim-nya menang dalam pertarungan game itu. "Kalian tidak tahu bakal ada anak baru di kelas kita?"

"Anak baru? Siapa?" tanya Kelly.

"Aku tidak tahu namanya. Kayanya dia anak yang baik. Aku melihat dia di ruangan seni kemarin."

Ruangan seni? Seperti pria yang dimaksud oleh Alena, kata Kelly dalam hati. Pikirannya berusaha membayangkan seseorang yang dikatakan Alena sewaktu itu.

"Ganteng tidak? Kalau jelek yah percuma," canda Ghea sembari tertawa kecil.

"Tidak beda jauhlah denganku," balas Rafael. Matanya terus terpaku pada game RPG di handphone miliknya. Kelly ikut-ikutan tertawa mendengar candaan mereka berdua.

"Walaupun ganteng, emang anak baru itu mau denganmu?" tanya Kelly pada Ghea.

"Yah, jelas, dong. Siapa yang tidak mau sama aku," jawab Ghea dengan centil. Kelly hanya menelan ludah mendengar kepercayaan diri yang sedang ditunjukkan oleh teman barunya itu.

Pelajaran hari ini berlangsung menyenangkan. Bu Rahma, Wali Kelas dan sekaligus guru mata pelajaran Biologi menerangkan pelajarannya dengan mengasyikkan. Kelly beruntung hari ini Bu Rahma mengajar pada jam terakhir sekolah. Rasa suntuk yang ia rasakan perlahan hilang.

Bel pulang yang berdering merdu menegakkan masing-masing telinga yang mendengarnya. Terdengar bunyi sepatu para murid yang berjalan di koridor sekolah. Semuanya sedang menyandang tas untuk pulang.

Kelly berdiri di depan pintu kelasnya untuk menunggu teman pertamanya, Alena. Ia dan Alena sudah berjanji bertemu saat pulang sekolah. Kelly juga berencana menceritakan pernyataan Rafael mengenai pria di ruangan seni itu.

Wanita dengan rambut tergerai itu keluar dari kelasnya sambil melambai tangan. Senyumnya lebar, tapi matanya tampak lusuh oleh kantuk. Bagaimana tidak, pelajaran Matematika yang membosankan membuat matanya sulit untuk dipertahankan. Alena melihat Kelly sedang berdiri di depan pintu kelas. Ia melambai sembari memanggil nama Kelly.

"Kell," panggil Alena.

"Hai, Alena. Lusuh sekali itu muka?" tanya Kelly.

Alena mengusap matanya yang masih terasa sayu. Perlahan Jemarinya menyelipkan rambut sebahu itu ke belakang telinga. "Jangan tanya lagi. Matematika membunuhku perlahan tadi."

"Ayo, ke sepedaku."

***

Kelly VannesaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang