36. Akan Terus Menunggumu

324 17 0
                                    

36. Akan Terus Menunggumu


Matanya tak tepejam dua hari. Kantuknya terusir akibat kalimat Nathan yang terdengar. Terucapkan sebuah pengakuan cinta setelah pria itu menolak dirinya mentah-mentah. Beralasan kekasih yang telah menjadi milikya sehingga Kelly tercampakkan tak dipedulikan.

Buku-buku banyak yang belum tertata rapi, masih terbengkalai di lantai perpustakaan sekolah. Debu-debu yang menempel pada rak buku ternyata tebal merata. Butiran halus abu-abu itu memenuhi permukaan kayu coklat dan bahkan menempel pada kulit Kelly. Tangannya yang putih kini berubah menjadi keabu-abuan.

Silih berganti ia berdiri lalu jongkok kembali untuk menyusun buku-buku yang tertumpuk di lantai. Tangan kirinya tak luput dari sebuah kemoceng pengusir debu. Sesekali ia terbatuk-batuk karena debu yang berterbangan itu.

Diliriknya ke sekitar, Felix dan Alena tengah berada di area perpustakaan yang lain. Entah mengapa mereka bertiga memikul pekerjaan ini karena kepergok duduk di kantin selama jam pelajaran berlangsung. Mereka bertiga beralasan karena kebosanan mereka yang melanda di jam-jam terakhir sekolah. Ditambah lagi dengan perut keroncongan yang masih belum cukup diisi oleh bekal makan siang. Kantin menjadi pilihan yang terelakkan.

Pikirannya terbesit kembali sepenggal nama yang membuat pikirannya terkuras. Nama dengan tatapan seteduh tanah bekas jatuhnya bayang-bayang pepohonan.

"Apa kamu sudah gila, Nath?" tanya Kelly kepada buku-buku berdebu di hadapannya. Jelas saja tak ada jawaban yang menyambut. Kelly terlalu bodoh karena mengatakn hal yang sia-sia itu kepada buku Fisika kelas sebelas.

Seketika suara lelaki terdengar tepat di telinganya. "Tentu saja dia tidak gila, menurutku," Jawab Felix.

"Dasar, aku terkejut tahu!" balas Kelly sambil menepuk lengan Felix. Felix tampak terkikik melihat respon Kelly yang lucu.

"Apa kamu masih mengharapkannya? Jawab jujur, jangan kamu sembunyikan dariku," tanya Felix. Wajahnya bernada memaksa tatkala menatap Kelly.

Kelly tidak menatapnya. Ia berbalik diri alih-alih menghindari pertanyaan Felix tersebut. Langkahnya cepat menuju ke Alena.

"Kell ...." Felix menahan tangan Kelly. "Kini aku serius. Jawab pertanyaanku!"

Ia berhenti dan berbalik menatap sambil melepaskan sentuhan tangan Felix di tangannya. "Aku bingung, Felix. Ia menyatakan cinta setelah dirinya menolakku. Aku tak tahu maksud dirinya. Kebohongan dan kejujuran seperti sama saja di mataku. Ia membolak-balikkan perasaanku begitu saja dengan mudah. Damn!"

"Bagaimana jika Nathan benar-benar mencintaimu, Kell?" tanya Alena tiba-tiba.

"Hatiku menutup diri untuknya. Sudahlah aku tidak mau membahas tentangnya." Kelly meninggalkan Felix dan Alena.

"Kell!" pangil Felix. Emosinya memuncak melihat keputusasaan Kelly. "Bagaimana jika Nathan benar-benar meninggalkanmu jika kamu menutup hati untuknya?"

"Itu lebih baik untuknya," balas Kelly sambil berjalan menuju pintu.

Felix mengejar Kelly yang telah meninggalkan mereka. Wanita itu melangkah cepat keluar dari perpustakaan. Air matanya tak henti menetes deras membasahi pipi. Mengalir membentuk garis hingga menetes di tepi rahang. Sedih tak akan bisa dihindari. Isakan tak bisa untuk bersembunyi.

"Tunggu, Kell!" ucap Felix dengan nafas tidak beraturan. "Nathan akan benar-benar pergi darimu, Kell. Dia akan pindah sekolah. Nathan menitipkan ini padaku tepat pada malam itu."

Felix memberikan sepucuk surat yang dilipat dua oleh Nathan sendiri. Felix enggan membukanya dan membacanya sendiri agar tahu isi surat yang begitu spesial itu. Ia sadar bahwa surat itu hanya menginginkan seorang pembaca, yaitu Kelly.

Jemari kecil Kelly menyentuh lipatan dari selembar kertas yang diberikan oleh Felix. Lipatan yang membentuk dua garis lurus yang saling berpotongan di tengahnya. Berwangikan parfum Nathan sehari-hari, semakin tercium tatkala ia menggesekkan permukaan halus kertas dengan ujung telunjuknya. Terlihat jelas tinta pena hitam menyerap ke kertas putih membentuk untaian tulisan indah dalam setiap garis kisahnya. Beraurakan harapan, cinta dan air mata. Mata Kelly memulainya dari huruf pertama surat itu.








Kelly Vannesa, sepenggal nama yang begitu indah melekat padamu. Sepenggal nama yang memanggilku tatkala pagi, menerjang udara ketika senja, dan yang mengingatkanku indahnya senyum bintang berkemilau manja. Aku mencintaimu lebih dari yang kamu tahu. Aku menunggumu tatkala kita berpisah jauh, tersudutkan oleh kerinduan yang kurasakan. Tidak sedetik pun tak terbesit namamu dalam rinduku. Aku takut, Kelly. Aku takut kamu tersakiti lagi oleh lembah yang pernah memisahkan kita. Yang menumbuhkan benih-benih kerinduan, yang membuat kita sakit karena pedih, hancur karena rapuh. Aku tidak bisa menyambut untaian cinta yang pernah kamu ucapkan. Aku sadar bahwa persinggahan singkatku di sini adalah sebentar. Aku akan pergi jauh atas nama mimpi. Dan di saat itu aku sadar, lebih baik aku tidak memilikimu daripada jarak dan rindu membuat hatiku mati.

Temui aku di saat senja itu memanggilku seperti biasanya. Tidak ada kata terlambat untuk senja memanggilku. Dan di saat senja tak menemukanku, di situlah aku telah benar-benar pergi.














Tangan Kelly bergetar saat membaca baris demi baris coretan pena dari Nathan. Matanya berkaca-kaca untuk menahan air mata, namun ia tak bisa membendung lebih lama lagi. Garis air mata jatuh ke pipi, membasahi setiap garis wajah yang dilewati. Kepalanya tidak mampu untuk tegak, menunduk menatap lantai berdebu. Tidak lama kemudian, ia menjatuhkan diri kepada Felix, memasrahkan diri dengan keadaan yang baru saja ia terima: pria itu akan meninggalkannya lagi.

***

Kelly VannesaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang