18. Membalikkan Waktu

344 18 0
                                    

18. Membalikkan Waktu

Andai saja setiap pertemuan tak bermuara ke sebuah perpisahan, tentu saja tak satu pun yang mengenal kata kesepian. Terbuang jauh oleh pertemuan tak berujung. Terpisah oleh kata bahagia dan cinta. Namun, tetap saja itu hanyalah ekspetasi para pemuja cinta di kehidupan ini.

Realita kadang tak sesuai dengan apa yang diharapkan. Di saat orang-orang membuang jauh-jauh kata perpisahan, di situlah realita tak bisa bekerja sama sehingga mengundang kata terlarang itu datang. Ia merapuh jiwa nan lemah, menginjak kerendahan hati, dan melukis tangis di ujung malam.

Apa benar perpisahan begitu pahit dan pelik bagi orang-orang yang mengalaminya? Setidaknya itulah yang dirasakan Kelly selama ini. Perpisahan yang tak ingin ia rasakan, akhirnya datang menimpa pada pertemanannya dengan Nathan. Satu hal yang ia percaya, setiap hal di dunia ini memiliki akhir, terutama perpisahan itu sendiri. Benar saja, perpisahan itu akhirnya menemukan ujung. Nathan datang dengan senyuman di wajahnya. Namun, tidak dengan dirinya.

Kemarin, Kelly tak menyangka jika saudara laki-laki Nathan datang ke rumahnya untuk meminta menemani Nathan untuk berkunjung ke sebuah rumah sakit di Kota Bukit Tinggi, Sumatera Barat. Om Fadly─panggilan ayah Nathan─dirawat karena infeksi pencernaan yang sedang melandanya.

Tentu saja itu membuatnya terkejut, apalagi hanya berdua saja dengan Nathan. Kelly sempat memprotes, tetapi Kevin selalu saja menyinggung mengenai masa lalu mereka yang tak mengenal kata enggan untuk selalu bersama. Kevin juga membanggakan diri karena sering mengasuh mereka berdua sewaktu kecil. Hal yang membuat dirinya mengiyakan permintaan Kevin tersebut.

Bunyi pantulan bola basket berbunyi tatkala dua lelaki itu tengah berduel dalam permainan basket mereka. Sepatu berdecit seiring pergerakan langkah yang bergesek. Peluh membasahi rambut masing-masing dari mereka. Tak bisa hindari lagi, para murid perempuan berkumpul menyaksikan duel basket tersebut. Keren, tinggi, tampan, itulah yang ada di pikiran mereka.

Alena datang dengan menyimpul senyum tatkala melihat Nathan dan Felix tengah berduel dengan bola basket di tangan mereka. Tak ada beda dirinya dengan murid perempuan yang lain, ia terkesima melihat ketampanan dua lelaki di sana.

"Aduh, andai saja dua pria itu milikku." Alena menatap Kelly yang sedang memasang wajah datar saat memerhatikan permainan basket Nathan dan Felix. Ekspresinya seketika berubah tatkala melihat wajah datar Kelly. "Just kidding"

"Bukannya kamu sebal dengan Felix?" tanya Kelly dengan tertawa kecil. Senyum Alena padam oleh kalimatnya.

"Terkadang. Aku sudah bilang, just kidding." Ia menekan dua kata terakhirnya.

Kelly menghela nafas. Ada sesuatu yang ingin ia katakan pada Alena. "Alena, mungkin beberapa hari nanti aku tidak bisa ditemui. Aku mau pergi ke Bukit Tinggi."

"So, what's the problem?" tanya Alena. Kakinya melipat anggun hingga dirinya terlihat lebih feminim.

"Aku pergi bersama Nathan. Ayahnya sedang sakit di sana. Jadi, saudara lelakinya memintaku untuk menemani Nathan," jawab Kelly dengan mata yang masih memantul memerhatikan bola basket yang dimainkan.

Alena diam sesaat. Samar-samar wajahnya menyiratkan sebuah senyum. Perlahan namun pasti, gigi depannya menampakkan diri. Sudut bibirnya melebar. "Itu bagus, Kell. Aku mendukung kamu. Pasti akan nada sesuatu yang terjadi sama kalian nanti. Seperti─."

Jemarinya menghentikan kalimat Alena. "Pikiran kamu kejauhan, Alena. "

Mata Kelly beralih ke dua pria yang sedang bermain basket itu. Bergerak lincah mengilik satu sama lain. Keringat mereka mulai bercucuran di dahi mereka. Namun, itulah salah satu daya tarik oleh murid perempuan yang sedang menyaksika pertandingan kecil itu. Terlihat sexy, itulah yang ada di pikiran mereka.

Tangan Felix tak henti men-dribble bola basket di tangannya. Tangannya yang pegal terus menguasai bola tanpa ada perlawanan ke daerah penjagaan Nathan. Dia lawan yang cukup tangguh, apalagi jika dilihat dari postur tubuh Nathan yang tinggi semapai. Matanya samar-samar melihat Kelly tengah duduk menyaksikan mereka dari tepi lapangan.

"Apa kamu benar-benar ingin mencampakkan Kelly dengan memilih Natasya daripada dirinya?" tanya Felix sambil men-dribble bola basket.

Nafas Nathan yang tak beraturan berusaha menjawab pertanyaan Felix. Matanya terus mengikuti pergerakan bola yang dimainkan lawannya itu.

"Aku hanya bersahabat dengannya. Dan aku sudah bulat dengan keputusanku sendiri." Nathan merebut bola dari tangan Felix. Dengan cepat ia berlari dan melakukan lay up yang sempurna. Bola berputar di atas ring basket sebelum memasukinya.

Ia mendesah kesal. Sudah cukup ia kehilangan dua poin akibat kecerobohannya sendiri. Felix bertegak pinggang sambil mengatur nafasnya yang berantakan. "Oke, sekarang kutanya lagi. Apa kamu tidak punya perasaan apa-apa padanya?"

"Tidak sama sekali," jawab Nathan singkat.

"Berarti kamu rela jika ia menjadi milikku," kata Felix. Ia berjalan perlahan menuju jatuhnya bola dan tersenyum tanpa sepengetahuan Nathan.

"Walaupun aku tidak punya perasaan padanya, bukan berarti kamu bisa begitu saja memilikinya. Tapi, coba saja kalau bisa," balas Nathan.

Entah mengapa ia tak menyukai kalimat Felix yang baru saja diucapkannya. Tangannya mengepal dengan keras. Ingin sekali ia melesatkan tangannya ke Felix. Namun, ia tak punya alasan untuk melakukan hal itu.

"Oke, kamu benar-benar menantangku, Nath. Jika kamu benar tidak punya rasa kepadanya, jangan pernah halangi aku."

Felix melangkah pergi dengan membawa bola basket di tangannya. Senang sekali telah mengucapkan kalimat-kalimat yang menusuk Nathan. Ia tak suka dengan perlakuannya kepada Kelly yang seakan mengabaikan Kelly dengan memilih orang lain. Seakan tidak ada yang pernah terjadi di antara mereka. Kedekatan yang pernah mereka alami selama ini.

Akan kubuat dia menyesal karena sudah mengabaikanmu, Kell, kata Felix di dalam hati.

Mata Nathan tak bergeser dari pria sipit yang tengah meninggalkannya. Ternyata kemenangan duel basket ini tak bisa bisa mengalahkan rasa pedih dari kalimat Felix tadi. Terasa menusuk dan seakan tepat menusuk dadanya. Memang Kelly bukanlah orang spesialnya, selain sahabat. Namun, tetap saja ia tak menyukai apa yang dikatakan Felix.

Satu hal yang Nathan pikirkan, Apa aku cemburu?

***

Kelly VannesaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang