15. Mengandung Kenangan (3)

358 24 0
                                    

15. Mengandung Kenangan (3)


Kenapa keberuntungan itu datang secara acak kepada seseorang? Bukankah Tuhan itu adil dalam menentukan siapa yang mendapatkannya? Keberuntungan jugalah yang membuat seseorang menjadi bahagia. Terutama dirinya sendiri.

Hidup sebagai anak tunggal memang tidak enak. Namun, dengan segala fasilitas yang diberikan oleh orangtuanya, itu yang membuatnya lebih dari orang-orang sebayanya. Itulah keberuntungan yang ia maksud. Setidaknya ia masih bersyukur dengan segala yang Tuhan titipkan padanya.

Suara gitar kecil pengamen jalanan menghiasi makan malam mereka. Memang pengamen itu tidak bernyanyi di dekat mereka, tapi masih terdengar jelas di telinga. Sederhana saja, mereka duduk di kursi plastik kecil sambil menikmati nasi goreng. Hanya beratapkan pekatnya langit malam dengan bintang bertaburan di atas sana. Bermandikan cahaya rembulan redup yang membelai manja senyum mereka. Angin datang mendayu demi menyiratkan kesunyian yang hangat. Kadang bahagia hanya sesederhana itu.

"So, kamu anak tunggal, ya?" tanya Kelly tiba-tiba.

Felix menangguk. Mulutnya masih sibuk dengan mengunyah nasi goreng. "Benar, aku anak tunggal."

"Aku mengerti dengan kesepian yang kamu rasakan selama ini." Kelly mengehela nafas. Semua rasa yang selama ini ia tanggung, seakan menunggu untuk diceritakan. "Aku mengerti sekali."

Felix menatap Kelly. Ia tak mengerti dengan ucapan Kelly barusan. "Maksudmu, Kell?"

"You know what? Aku anak tunggal juga. Tanpa saudara untuk bercerita, tanpa saudara untuk bermain, dan hanya bisa memendam kesedihan atau pun kebahagiaan sendiri tanpa berbagi. Miris, ya?"

"Oh, aku paham maksudmu. Aku juga seperti itu. Tidak ada teman bicara, kecuali dengan orangtua sendiri," balas Felix sambil menyuap suapan terakhirnya. "Itulah kenapa aku banyak diam, kecuali denganmu, Alena, dan pria itu. Kamu pasti tidak ingin aku menyebutkan namanya, kan?"

Tawa Kelly terlepas oleh pertanyaan Felix. "Terserah kamu, deh. Sebenarnya dia juga yang membuat aku pandai bersosialisasi. Ia teman pertamaku. Teman yang memperkenalkanku dengan teman-teman yang lain."

"Oh, ya?" tanya Felix dengan penasaran.

Kelly mengangguk. Matanya menadah pada bintang-bintang yang bertaburan di langit. Sungguh indah oleh kedipan yang tak kunjung berhenti di atas sana, seakan menggoda dirinya untuk memetik mereka, mencuri mereka dari kegelapan malam. "Tanpanya, aku tidak akan punya teman. Tanpa dia, aku tidak bakal main keluar."

"Jadi ceritanya cinta lama bersemi kembali, begitu?" tanya Felix sembari tertawa tertawa.

Kelly memukul manja pundak Felix. Bisa-bisanya pria sipit itu bertanya seperti itu. "Sekecil itu mana bisa merasakan jatuh cinta. Itu semua muncul waktu dia kembali muncul. Banyak yang berubah darinya."

"Termasuk wajahnya jadi lebih tampan?" Felix menggoda Kelly mengakuinya.

"Tidak hanya itu, sikapnya juga. Dia jauh lebih dingin dari yang kukira. Termasuk pada diriku sendiri. Seakan dia tidak mengingat sedekat apa kami dahulu. Sudahlah, berhenti membicarakannya. Balik lagi ke topik mengenai anak tunggal."

Felix tertawa. Topik mereka memang melenceng jauh dari yang mereka bicarakan pertama kali. "Oke, sekarang aku tanya. Kamu bahagia jadi anak tunggal?"

"Aku bahagia. Bukankah itu sudah ketentuan Tuhan? Kalau kamu?"

Jemarinya mengepal pelan. Ia biarkan matanya terpaku memerhatikan bintang kecil yang berkedip tak henti. Walaupun terlihat kecil, ia tahu bahwa bintang itu sangat besar. Hanya jarak yang membuatnya terlihat kecil. "Aku bahagia dan merasa beruntung."

Kelly VannesaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang