12. Kesepian

380 23 0
                                    

12. Kesepian


Dirinya perih membentuk luka memanjang di sekujur hatinya. Tak banyak yang bisa ia lakukan, kecuali menerima realita yang ada. Benar, patah hati itu nyata adanya. Dirinya bisa mendengar gemeretak hatinya yang patah dengan penuh kesakitan. Kecupan lembut yang mendarat ke wanita itu menjadi pukulan telak baginya untuk mendapatkan hati pria bermata teduh itu. Rasanya pupus sudah cinta pada teman masa kecilnya. Ternyata tak ada gunanya menunggu selama ini. Hanya pedih dan luka yang ia dapat.

Bel istirahat menggema. Telinga Kelly berdiri mendengar nada-nada yang keluar dari toa sekolah. Ia masih sibuk dengan buku-buku yang berserakan di atas mejanya. Pekerjaan rumah yang baru saja diberikan ia angsur sedikit demi sedikit. Alasannya sederhana, ia ingin lebih bebas di rumah tanpa memikirkan mengenai pekerjaan rumah sedikit pun.

Baris demi baris tertuang melalui ujung pena. Tinta hitam yang menyesap di kertas putih melukiskan bentuk untaian tulisan miring, meliak-liuk pada setiap lekukan huruf. Matanya lemah bergerak menatap garis yang ada di buku pribadinya. Sementara itu, jemarinya masih saja memegang pena di tangan.

Kau kutemukan dengan senyum lama yang pernah terlukiskan

Tipis, merdu, dan sukar diartikan

Berbendung rindu yang tak tertahankan

Atau mengulum untuk sebuah perpisahan

Telinganya berdiri tatkala derap langkah terdengar menuju ke tempatnya. Ia melirik asal suara itu, pria tegap bermata teduh menarik sudut bibirnya kepada Kelly. Nathan melempar senyum, seakan senyum itu ikut mementalkan Kelly jauh ke dalam bayang-bayangnya.

Nathan menarik salah satu buku yang menyibukkan Kelly. "Cukup belajarnya. Ke kantin atau ke mana ...."

"Terserah aku. Yang punya buku siapa? Aku, kan?" balas Kelly. Ia memang sedang tidak mood berbincang dengannya semenjak ia melihat Nathan dan Natasya di ruang seni.

"Oh, okelah kalau begitu. Kell, aku mau─"

Seketika Kelly menangkap lambaian tangan Alena di penglihatannya. "Hai, Alena,"─dirinya ikut melambai ke Alena yang berada di pintu kelas─"Nath, aku duluan ya."

Tak ada yang bisa Nathan lakukan. Ia hanya terdiam dan membiarkan wanita itu melangkah bersama temannya itu. Bahkan, ia tak sempat meneruskan kalimatnya tadi. Teringat olehnya masa lalu yang pernah mereka lalui bersama, berjalan di atas karpet kasar sambil melirik kiri-kanan mereka yang penuh akan lukisan yang indah. Tangan wanita itu dulu tak mau lepas dari dirinya, menggandeng Nathan ke mana saja dirinya pergi.

Padahal aku ingin mengajaknya ke sana. Dia paling suka ke sana dahulu ....

Tangan Kelly merangkul Alena erat. Rasanya lega telah lepas dari pria bermata teduh itu. Tatapannya yang dingin itu selalu saja membuat hatinya pedih. Menusuk hingga membekukan dirinya. Ia sadar tatapan teduh itu tak lagi miliknya.

"You save me!" kata Kelly.

Alena keheranan. Ia melepaskan rangkulan tangan Kelly. "Dari dia? Nathan?"

"Iya, benar. Siapa lagi?" balas Kelly sambil menganggukkan kepala.

Alena memajang wajah datar kepada Kelly. Ia benar-benar tidak mengerti dengan jalan pikiran Kelly. Berbelit-belit dan sulit untuk ditebak. "Kemarin kamu galau karena dia menjauhimu. Nah, sekarang dia mengajakmu bicara, malah tidak mau. Bagaimana, sih?"

Sorot mata Kelly fokus ke kantin yang sesak dengan murid kelaparan. Kakinya sejajar melangkah bersama Alena. Sejenak ia tertawa kecil. "Aku kesal karena dia jadian sama Natas─"

Kelly VannesaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang