16. My Brother, Kevin

343 17 0
                                    

16. My brother, Kevin




Kebencian membuat seseorang rapuh dan bangkit dalam waktu yang bersamaan. Memang, kebencian itu membuat semangat itu bangkit dalam tidurnya. Namun, di sisi lain kebencian merapuhkan hati yang merasakan. Kerapuhan yang hanya bisa didapat tatkala terlalu lama berkutat dengan kebencian itu.

Andai saja luka itu bersuara, merintih bersamaan dengan kebencian yang dirasakan. Luka yang merapuhkan di setiap sisi hati yang tak luput dengan adanya sedih sendu. Luka yang tersayat tidak mengering, tidak habis darah yang menjadi nanah, luka terus menyentuh perih. Andai saja luka itu bersuara, tentu saja setiap orang dapat mengerti betapa pedih yang dirasakan.

Nathan baru saja membuka gerbang halaman rumahnya, terdengar berdecit tatkala digerakkan. Samar-samar terdengar pula goncangan keranjang sepeda. Suara itu berasal dari jalanan beraspal. Benar saja, ia menoleh dan mendapati Kelly sedang melintas dengan sepeda warna merah muda dengan ban yang hitam pekat. Ia melintas laju tanpa memedulikan

"Kell─" Nathan tercengang. Kelly bahkan seperti tak menyadari bahwa Nathan sedang memanggilnya. "Ah, sudahlah."

Gemerincing bunyi kunci rumah Nathan terdengar di saat ia memutarnya pada lobang kunci. Nathan membuka pintu, tapi ia terhenti sejenak. Wangi rumahnya tak lagi berwangikan kayu, melainkan wewangian parfum yang tidak ia kenali. Matanya memandang ke lampu rumah yang menyala. Setahu Nathan, ia tidak pernah menyalakan lampu rumah sebelum pergi ke sekolah.

Tangannya meraih tongkat baseball di balik pintu. Kakinya melangkah perlahan mengikuti aroma wangi parfum yang semakin kuat. Nathan mengedarkan penglihatannya. Ia mendapati pintu kamarnya sedang terbuka. Insting-nya semakin kuat bahwa seseorang tengah menyusup ke dalam rumanhnya.

Nathan membuka pintu itu dengan cepat. Genggaman tangan Nathan semakin kuat tatkala ia melihat seorang pria bertegak pinggang di salah satu lukisan yang ia buat. Pria itu berbalik diri. Nathan seakan mengenal sorot mata itu. Wajahnya lima tahun lebih tua dari dirinya, rambut klimisnya berpadu dengan brewok tipis yang menyatu dengan kumis, dan ingginya hampir sama dengan tinggi Nathan.

"Easy, Nath. It's me, your brother. Kamu kira aku tidak melihat cara kalian masuk ke rumah lewat jendela. Ternyata benar-benar berguna," katanya dengan ringan. Sebelah bibirnya melebar kepada Nathan.

Nathan kembali mencerna setiap detail wajah pria itu. Ia tidak pernah berjumpa dengannya selama bertahun-tahun. Perpisahan, ia sangat benci akan hal itu. Perpisahan yang memisahkan semuanya.

"Long time no see." Nathan meletakkan tongkat baseball yang ia pegang. "Bagaimana kabarmu, Kevin?"

"Selalu baik semenjak ... hmm ... you know... semenjak orangtua kita bercerai," kata Kevin sambil melipat tangannya. Arah badannya tertuju ke sebuah lukisan wanita di sana. Dirinya tak menyangka jika saudaranay itu bisa menyulap wajah seseorang hingga secantik itu di dalam kanvas lukis. "Jadi, ini yang membuatmu ingin kembali ke sini?"

Langkah Nathan bergerak mendekati Kevin. Wangi parfum Kevin semakin tercium kuat Nathan sedang di sampingnya. "Bukan, maksudku bukan hanya dia. Aku ingin kabur dan kembali bersama Ibu. Ayah ... dia itu gila, Vin."

Dahi Kevin mengernyit. "Gila? Maksudmu?"

"Semenjak Ibu dan Ayah bercerai, dia semakin kacau. Main wanita, alkohol, seorang lintah darat. Setiap hari aku melihat Ayah bersama wanita lain. Kamu beruntung karena diasuh oleh Ibu, bukan Ayah."

"Oh, aku baru tahu itu. Aku hanya tahu jika Ayah menikah lagi dengan wanita yang jauh lebih muda dengannya," ucap Nathan. Ia tertawa sejenak karena kalimatnya.

Nathan mengangguk. Ia membuang muka karena membenci hal itu. "Oh, that bitch."

"Mulutmu bisa dijaga? Kamu baru saja menyebut ibu tirimu dengan sebutan itu," protes Kevin dengan nada yang meninggi.

"Dia menikahi Ayah cuma karena harta. Wanita itu hanya menghabisi harta Ayah. I hate them."

Mata Kevin dengan seksama menyaksikan detail wajah pada lukisan itu. Nathan membuat matanya tampak persis dengan pemilik aslinya. Alisnya yang tebal memanjang menaungi mata bulat berbulu mata lentik. Mata bening bersinar mengandung pupil yang hitam pekat, melebar seakan lukisan itu dapat menatap Kevin.

"Aku mau kopi. Senja waktu yang baik untuk menikmatinya," katanya pada Nathan. Kalimatnya menyiratkan ingin dibuatkan secangkir kopi.

Nathan menangkap permintaan tersirat dari saudaranya itu.

***

Kelly VannesaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang