24. Tangisan Cinta

319 14 0
                                    

24. Tangisan Cinta

Jika semua ini adalah kesalahan, mengapa aku tidak menyadarinya sedari dulu? Kelly tak sanggup mengangkat wajah. Rasanya terlalu berat oleh air matanya yang terus saja berlinang. Jika ia tahu akan berakhir seperti ini, ia akan membunuh perasaan itu dan membiarkan ia mati. Perasaan yang seakan membungkam dirinya berkali-kali.

Sang rembulan tidak iba melihat Kelly yang terisak pada terpaan cahayanya. Rembulan tidak peduli, ia terus saja memancarkan cahaya redup. Bergelimang sunyi dalam kesendiriannya. Ia berharap tetesan air mata itu dapat bersuara agar dapat mengusir sepi. Air mata yang ia benci tak sanggup ia bending. Pecah berlinang dan mengalir membentuk garis memanjang di pipinya.

Ia butuh teman bercerita untuk mencurahkan semua gundah yang ada. Jemarinya mengetik nama Alena pada layar handphone lalu menekan tombol berwarna hijau untuk memulai panggilan. Bunyi sambungan telepon berbunyi pada telinganya. Tidak lama kemudian Alena mengangkat panggilan darinya.

"Halo, Kell?" tanya Alena. Sebelah tangannya sedang memainkan tuts piano hingga membentuk melodi yang indah. Rasanya bosan bermalam mingguan tanpa Kelly di rumah. Sekarang ia hanya bisa menyendiri seorang diri di kamar.

"Alena, aku─"

Alena mendengar suara Kelly yang terisak. "Kamu sedang menangis, Kell?"

Tangan Kelly menghapus garis air mata. Hidungnya terasa tersumbat karena tangis yang pecah sedari tadi. "Iya, aku sedang menangis."

Nada Kelly benar-benar terdengar sedih dari balik handphone. Alena panik karena takut ada hal yang menimpa sahabatnya itu.

"Apa yang terjadi, Kell? Kok bisa menangis seperti ini?" tanya Alena dengan sedikit panik. Tangannya menekan handphone sedikit kuat pada telinga agar dapat mendengar penjelasan dari Kelly.

Tidak ada suara Kelly yang keluar. Alena terus saja menanyakan hal yang sama berkali-kali. Sementara itu, Kelly menoleh kepada Nathan yang baru saja tiba. Pria itu dengan cepat menemukannya setelah ditinggal pergi di Pasar Atas Jam Gadang. Jari telunjuk Kelly mematikan sambungan teleponnya dengan Alena.

Cahaya redup tampak jatuh pada wanita yang duduk termenung di kedinginan malam Kota Bukit Tinggi. Berselimut dengan kaos tipis yang ia kenakan. Ia seakan kuat melawan dingin seperti ini. Nathan mendekat. Wangi parfum yang tertinggal pada jaket kulitnya, kini menempel pada tubuh Kelly.

"Jangan di luar, nanti kamu bisa sakit jika kedinginan," kata Nathan sambil menyelimuti dengan jaket kulit miliknya. Kelly seketika merasakan kehangatan jjaket kulit dan kehadiran Nathan di sisinya.

"Nath─"

Kelly seakan terbungkam oleh kehadiran pria di sisinya. Ia tak sanggup melanjutkan kata-kata. Perih hatinya bercampur dengan cinta yang mekar. Ia seakan tak tahu cara membedakan kedua perasaan yang menjadi abu-abu di hati Kelly.

"Aku mengerti bagaimana rasanya ketika orang yang kita cintai tidak pernah memedulikan kita. Aku pernah merasakannya. Ayahku dulu seakan tidak memerhatikanku. Ia terlena dengan harta dan wanita. Pada akhirnya ia menikah dengan ibu tiriku. Aku terasa tersisihkan dalam keluarga, sementara rinduku pada Ibu tak pernah terbalas. Ayah melarangku bertemu dengannya."

Kelly bisa mencium wangi parfum Nathan kini melekat pada tubuhnya. Ia tak henti menghirup udara sekitar. Hatinya tak tenang, tak teduh seperti sorot mata Nathan. "Cinta yang itu beda. Ini cinta mengenai perasaan wanita terhadap seorang pria."

"Semua cinta itu sama. Tuhan menciptakan cinta itu hanya satu. Tergantung cinta itu diperuntukkan untuk siapa." Ia menarik kepala Kelly ke pundaknya. Wanita itu butuh seseorang untuk bersandar, meskipun dirinya sendirilah yang membuat segurat sedih pada wajah Kelly. "Tapi, aku sudah punya orang lain. Kamu salah mengartikan semua ini adalah cinta."

Wajah Kelly terasa hangat karena sentuhan tangan Nathan. Lembut mengelus bulu-bulu halus pada wajahnya.

"Aku minta maaf jika perasaan ini mengganggumu. Tapi, aku tidak bisa mengelakkan perasaanku padamu. Perasaan itu tumbuh begitu saja, tanpa alasan dan sebab," kata Kelly dengan pelan.

"Iya, aku tahu itu. Kita mulai semuanya dari awal. Anggap saja hal yang tadi tidak pernah terjadi. Oke?" pinta Nathan.

Kelly hanya mengangguk. Ia memberikan kembali jaket kulit itu pada Nathan. Tubuhnya lelah karena menanggung sedih malam ini. Sudah saatnya malam ini menutup tangisnya. Menutup mata dan berharap esok pagi semuanya baik-baik saja.

Namun, tidak semudah itu bagiku melupakan hal yang telah terjadi, ucap hatinya dalam benci.

***

Kelly VannesaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang