Aku hanya bisa menatap jendela yang basah akibat hujan pagi hari. Suasana yang dingin ini menyejukkan, cukup menenangkan keinginan yang membara.
Aku terus memegangi kopi di telapak tanganku, berharap kehangatan itu akan menenangkan hatiku. Aku benci "terdampar" disini, tapi tak bisa berbuat banyak untuk kabur. Hidup seperti ini laksana penjara dengan kurungan emas, meski aman dan mewah, tetap saja di penjara.
"Ini pesanan Anda." suara pelayan kafe itu menarikku ke dunia nyata.
"Ah, iya. Terima kasih." aku menundukkan kepala.
Ya, senangnya bisa melakukan yang selama ini hanya bisa ku liat saja. Romo melarangku untuk berbuat seperti itu, terutama pada pelayan. Aku selalu menahan keinginan itu selama di samping beliau. Tapi, tak ada yang melarangku disini, saat ini. Jarak ratusan mil tak mudah ditempuh beberapa menit oleh Romo ataupun abdi dalem beliau.
Suatu keinginan terkadang terkabul setelah terlupakan oleh ambisi keinginan lainnya. Begitulah aku, setelah kegagalan menjadi bagian dari perjuangan kemerdekaan, aku berhasil mendapatkan kebebasan menuntut ilmu di negeri kincir angin. Tak penting jika aku malah harus berada pada markas musuh, toh aku bisa bebas melakukan rencanaku disini. Terlihat mustahil, tapi aku akan mencari cara.
***
Matahari sudah menyongsong cukup lama, tapi belum benar-benar berada dalam puncaknya. Detik jam di dinding selalu jadi pelampisan helaan nafas panjangku. "ah, kenapa lama sekali" gerutuku. Ketika pintu rumah di buka, saat itulah aku terloncat otomatis, masuk ke dalam, menjalankan misi.
"Silahkan masuk. Saya akan panggilkan Raden Mas." terdengar jelas suara lembut bibi.
Tak ada suara, tapi aku bisa merasakan badannya yang membungkuk, mengiyakan sekaligus memberi hormat. Kehadiran lelaki inilah yang ku tunggu. Bukannya naksir, laki-laki itu terlalu tua untukku. Selain itu, ia juga baru saja menikah. Bukan ide yang bagus, menimbulkan rumor perebutan suami orang oleh anak bangsawan sepertiku. Terlebih saat kondisi negeri sangat genting. Menegangkan oleh pergerak perlawanan pemilik tanah air sebenarnya.
Aku sudah duduk dengan nyaman dan menyesuaikan telingaku untuk menajamkan telinga tanpa ketahuan. Disinilah tempat persembunyianku, ruang belajar yang tak jauh dari rumah tamu. Tirai pembatas yang terbuat dari rotan yang dianyam jadi pelindung diriku yang menenggelamkan mata pada buku bacaan, tapi waspada pada perbincangan di luar.
"Situasi sudah sangat genting, Raden. Rupanya sekutu sudah mulai mencium dukungan kita pada kelompok Merah-Putih."
"Kita harus diam laksana cicak yang pura-pura mati ketika mangsanya mengintai. Kau mengerti maksudku, kan?"
"Tapi kita tetap harus memiliki seorang penghubung kita dengan kelompok itu."ucapnya penuh dengan rasa hormat.
"Ya, kau benar. Tapi, baik kau dan aku jelas tidak bisa melakukannya." aku bisa merasakan tatapan bimbang Romo dalam kebuntuan pergerakan.
"Mohon ampun, Romo. Orang-orang saya juga tidak bisa digunakan. Mereka sudah mendaftarnya dengan teliti."lelaki itu pasti sangat menyesal, tapi juga tak bisa berbuat apapun.
"Kita seharusnya bisa mendapatkan orang yang dekat kita yang tak mungkin dicurigai, tapi juga cukup paham bahasa sekutu."mimik wajah Romo seperti mulai menemukan jalan keluar.
"Inggih, Romo. Alangkah lebih baik jika dia bangsawan yang banyak berkawan dengan bangsa sekutu." terangnya jelas tapi tetap sopan.
"Mohon ampun, Romo. Bukannya saya lancang."lanjutnya.
Aku menajamkan telingaku, mencoba menebak yang akan dikatakan. Buku di peganganku pun jatuh saat ku dengar tirai rotan ini terkesiap.
"Mati aku!" kutukku dalam hati saat merasakan tatapan tajam lelaki itu menghakimiku.
~~~
Bersambung.
KAMU SEDANG MEMBACA
(Bukan) Gadis Keraton
Historical Fiction#80 HR in Historical Fiction (18/05/2018) Ajeng, gadis belia berumur 17 tahun yang hidup di jaman penjajahan. Tak ada kesusahan berarti dalam hidupnya, kecuali siksaan diri dari keinginannya bergabung dalam organisasi memperjuangkan kemerdekaan bang...