"Tampaknya kita harus merubah haluan, Dit." ucap Romo saat pertama kali memasuki kereta. Sedang anak laki-laki itu masih berada dalam lingkaran pertimbangan yang dibuatnya.
"Bagaimana dengan puteri pak Wisesa, Dit? Romo rasa kita harus menyiapkan segala sesuatu sebelum terlambat. Romo yakin bahwa" pria paruh baya itu menghentikan ucapannya karena lawan bicaranya tampak tak menyimak apapun.
"Raditya!" suara Romo mengelegar tapi tak mampu membangunkannya dari lamunan dunianya sendiri. Hingga sebuah tepukan ringan di lengannya menyadarkannya.
"Inggih, Romo. Ampun. Radit hanya mencoba memikirkan...sesuatu." Percuma menutupi, Romo terlalu mengenal anak sulungnya ini.
"Kamu memikirkan tentang anak gadis Pak Sosrodiningrat?" tebak Romo yang menyudutkan lawan bicaranya.
"Eh? Ah..inggih, Romo." anak lelaki yang sudah baligh sejak 2 tahun lalu itu tersenyum lebar menunjukkan gigi-gigi putihnya. "Tampaknya gadis itu...berbeda," sambungnya kemudian.
Romo berdeham, mencoba mengerti kebinggungan anaknya. "Tapi dia akan susah menjadi wanita jawa sejati, anakku," cemasnya dalam hati.
***
Pagi ini terada begitu berharga bagi Ajeng. Ia mendapatkan kunjungan di saat matahari mulai berbaik hati menghangatkan kota dimana sungai membentang di Londo. Ya, Ajeng melupakan keharusannya menentukan pilihan selanjutnya, bukan menikah atau S2, tapi menikah atau selamanya jadi gelandangan di negeri orang. Tampaknya kali ini, ia tak bisa memilih.
"Ah!" euforianya tak terbendung saat ia memikirkan sebuah nama yang akan menyelamatkannya lagi. Setelah menghabiskan kopinya pagi ini, ia bisa melihat Dewi belum terbangun dari tidurnya, mungkin masih mencoba beradaptasi dengan kedinginan yang mulai menusuk bagi penduduk tropis.
Gadis muda ini sejak lama melepas penyamarannya, berharap masih aman dan tak bertemu dengan siapapun yang mencurigainya tentang aksinya di kantor urusan luar negeri Londo. Toh, bukannya dengan tak menyamar malah menutupi identitasnya. Ia hampir tertawa lega sampai dilihatnya teman, ah bukan, musuh Didit. Tapi bukankah ini juga kesempatan untuk menanyakan soal pria itu?
Ajeng masih gadis keraton dengan segala kekerasannya, tapi ia semakin pintar untuk memanipulasi korbannya. Ia menyelinapkan secarik kertas di kantong mantel pria, tepat ketika pria itu tampak ingin singgah di sebuah toko.
Temui aku di kafe Gronicity menghadap pemandangan sungai, sekarang! - Musuhmu masa lalu.
Pesan itu mengandung tanda tanya bagi siapapun, bahkan untuk mereka yang tak memiliki musuh. Tentu saja ia harus meminjam tubuh seseorang yang berpostur tinggi untuk menutupi kekecilan badannya yang tak mengancam sama sekali.
Katakan padaku, dimana Pria yang masuk rumah sakit 3 bulan lalu? - M.M.L
Ajeng sadar suaranya akan mengkhianati segala kerja keras penyamarannya, olehnya ia memanfaatkan waiter untuk mengantarkan pesan. Saat Afik mulai melihat sekelilingnya, Ajeng tau persembunyiannya terlalu sempurna saat mengamati muka resah lelaki itu.
Aku tidak tau tentang pria yang kau maksud. Tak usah lelah menipuku dengan cara banci seperti ini. - Afik.
Sayangnya, Ajeng harus mengakui bahwa ia harus belajar banyak tentang tipu muslihat. Waiter bodoh itu langsung mengirimkan surat itu ke tempat ia duduk, meski sudah berganti posisi. Saat waiter itu mendekat, ia tau tak menunggu semenit untuk mengetahui akhir dari kisah hidupnya. Mata Afik terpaku pada waiter pengantar pesan itu. Saat ia hanya bisa memenjamkan mata, berharap Gusti Allah akan menolongnya lagi. Saat keputusasaannya membuat dia berikrar untuk setuju terhadap perjodohan itu pada dirinya sendiri, saat itulah rombongan orang datang menutupi pandangan Afik melihatnya. Tak hanya kebaikan itu, ia bahkan disadarkan untuk bangkit lebih cepat sebelum Afik bertindak menyusulnya melalui pintu yang lain.
Ketika ia membuka mata, tau bahwa keselamatannya sudah aman, Ajeng menyadari tangannya ditarik berlari menyusuri lorong-lorong kecil, lalu masuk ke salah satu toko baju berkelas. Ajeng tau ia berhutang banyak pada orang ini, sehingga ia menundukkan badannya untuk meminta maaf dan mengekpresikan rasa terima kasih yang begitu besar.
"Kau bodoh!" balasan penyelamatnya benar-benar membuatnya geram, tapi ia harus mengakuinya. Itu takkan mengubah keadaan bahwa ia telah ditolong oleh orang asing ini. Tapi, tunggu, Ajeng berpikir suara itu tak asing.
"Kau...gadis bodoh dan ceroboh!" teriakan marah dan frustasi terdengar dari suara kehabisan napas pria ini. "Astaga, dia cowok!" kutuk Ajeng dalam hati. Jangan sampai ia harus berterima kasih dengan cara yang akan menghalangi janjinya untuk perjodohan itu.
"Ajeng! lihat aku!" kemarahan pria itu memuncak dengan memegangi kedua lengan Ajeng untuk menatap lurus ke arahnya.
"Ajeng.." ucap lelaki itu mendesah, sebab gadis ini tak kunjung menegakkan kepalanya. "Jangan lakukan ini lagi, aku mohon." Ajeng berpikir ia salah mendengar ketika pria asing ini menyebut namanya dengan suara Didit, tapi saat sadar bahwa ia berada dalam pelukan pria ini, Ajeng bisa mengenali aroma maskulin pria ini. Iya, dia Didit..lagi, untuk kesekian kali membuat Ajeng merasa nyaman.
Bersambung...
KAMU SEDANG MEMBACA
(Bukan) Gadis Keraton
Historyczne#80 HR in Historical Fiction (18/05/2018) Ajeng, gadis belia berumur 17 tahun yang hidup di jaman penjajahan. Tak ada kesusahan berarti dalam hidupnya, kecuali siksaan diri dari keinginannya bergabung dalam organisasi memperjuangkan kemerdekaan bang...