Dengarkan aku

108 14 0
                                    

Tak ada keindahan di sungai ini seperti saat pertama ia memandangi sungai ini. Tapi, ia masih bisa menghirup angin yang bertiup menyapu wajahnya. Lelaki itu, Radit, memakai topi yang hampir menutup seluruh wajahnya baru saja memarkirkan sepedanya setelah sebelumnya tidak tidur semalaman. Bukan hanya perkara pekerjaan, tapi hatinya sedang bermasalah dengan sebuah nama.

Ia bercermin di sebuah kafe tempatnya memarkir sepeda. Orang disini takkan heran dengan kenarsisan. Tapi, tentu bukan itu niat lelaki ini, ingat kan wajahnya tertutup topi besar. Ia melirik dan bercermin untuk melihat di belakang punggungnya. Saat memastikan tidak ada satupun yang mengikutinya, ia tahu saatnya bergerak untuk melepaskan apa yang dimilikinya disini.

Deg!

Jantungnya berdetak kencang saat menampakkan sebuah sosok. Sial, hari ini ia bertemu dengan mantan sahabatnya yang sudah bermetamorfosis menjadi musuh besarnya, Afik. Tapi tunggu, wajah Afik tampak murung dan kesal bersamaan.

"Ada apa?" tanyanya dalam hati.

Ketika ia melihat Afik bergerak resah di bangkunya sambil mengedarkan pandangannya ke seluruh kafe, ia mengikuti pandangan ke seluruh kafe hingga menemukan sosok yang dikenalnya, Ajeng. Seharusnya ia senang bertemu secara tak sengaja seperti ini hingga ia bisa berpikir, mungkin kita jodoh. Tapi melihat wanita itu dalam bahaya besar yang dia sendiri mungkin tak tahu, Radit tidak tau apa yang dirasakannya, sakit, marah, kecewa tampak bersatu membuat dunianya jungkir balik.

Radit terlalu lama di tanah ini untuk bisa terhindar, tentu saja ia masih gugup. Lalu, ketika melihat sebuah rombongan masuk kafe, ia bergegas menarik lengan Ajeng lalu mengajaknya berlari. Ketika wanita ini tidak terlihat akan memandangnya, ia kesal dan sangat ingin marah. Tapi, ketika melihat bola mata penuh minat itu, ia bergegas memeluk wanita itu hingga ia mendengar suara tangisan. Wanita itu menangis, tentu saja ini berat untuk berkali-kali mempertaruhkan nyawanya.

"Ajeng..", lirih Radit masih dalam keadaan memeluk, lalu mengusap punggung belakang, menenangkan.

"Aku..hiks..hikss..min..hikss..ta..maaf!" tangis wanita itu pecah.

"Ada apa? Apa yang sebenarnya ingin kau katakan?" Radit melonggarkan pelukannya, lalu jemarinya menghapus tangis di pipi wanita itu. Sedangkan, gadis dihadapannya tampak tak bisa meredakan tangisnya.

Radit membawa Ajeng keluar dari toko baju ini, lalu menyampirkan mantelnya untuk gadis ini. Ajeng diam dituntun Radit sambil membersihkan wajah dan hidungnya dengan sapu tangan beraroma Radit. Mereka duduk di kafe di bawah bangunan yang terselubung di kafe ini, kafe yang sama ketika Ajeng dikagetkan Radit untuk pertama kali.

"Terima kasih, Didit!" hanya itu kata-kata yang diucapkan Ajeng setelahnya. Radit terbeku, kaget dan terlalu negatif hingga menyimpulkan bahwa Ajeng mungkin sudah tau ia dijodohkan dengannya, lalu merasa tertekan, dan menolaknya saat ini.

Radit bahagia dan sedih bersamaan. Ia bahagia wanita itu masih sama, sangat tahu apa yang diinginkannya. Tetapi, hatinya juga sedih, cinta pertamanya ditolak.

***

Kenangan itu selalu membangunkannya sejak 3 bulan ini, semenjak ia memutuskan meninggalkan segalanya. Meninggalkan Londo dan cintanya. Kembali ke tanah air meneruskan tahta Romo yang diwarisinya, bekerjasama dengan Londo demi keselamatan keraton, tapi juga diam-diam membiayai pergerakan kemerdekaan. Juga menguburkan hidup-hidup perasannya, menahan mati-matian menuju perjalanan 5 jam untuk menemui keratonan dimana Ajeng berada.

Orang lain akan menamakannya munafik, tapi ia tak punya pilihan. Ia takkan bahagia hidup bersama orang yang dicintainya jika orang yang dicintainya akan selalu sedih dan bahagia bersamanya.

***

Mendengar suara anak-anak mengucapkan huruf demi huruf, lalu mencoba membaca adalah euforia kemenangan bagi wanita ini. Tapi, rasanya hatinya rindu akan sosok yang teramat bahagia.

"Kenapa denganku, Dew?" tanya Ajeng kepada sepupunya.

"Kau hanya terlalu lelah hari ini." usapan lembut Dewi di lengam Ajeng.

"Rasanya ada sesuatu yang ku lupakan, tapi apa?" wanita yang sudah menginjak 22 tahun itu tampak berpikir keras, tapi hanya pusing yang dirasakannya.

"Istirahatlah dulu." Dewi membawa Ajeng kembali ke biliknya setelah memastikan taman belajar ini dipegang oleh guru lainnya.

Bersambung...

(Bukan) Gadis KeratonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang