Kesempatan yang hilang

114 11 0
                                    

Ketika aku terbangun, jendela kamar sudah gelap dengan sedikit cahaya lampu. Ku rasakan mata sembab sebab menangis tersedu-sedu. Radit, nama itu langsung tertanam. Dia bangsawan, di bukan orang suruhanku, ia hanya pura-pura. Tentu saja aku tak bisa menangis lagi, meski sangat ingin. Saat aku ingin beranjak keluar kamar, mataku tak sengaja terfokus pada tumpukan berkas. Aku menyakini ada hal penting yang bisa ku dapatkan. Ditumpukan berkas itu terdapat sebuah amplop yang tujuan Mr. Radit.

Astaga, aku terlalu kaget ketika terus menelusuri berkas ini. Dia memang bukan orang biasa, tapi apa maksud dari penyamarannya. Aku harus mengirimkan strategi baru untuk Romo, secepatnya. Tapi bagaimana cara? Terlalu frustasi, aku terduduk lemas pada lantai ruangan ini.

Sial, badanku melemas disertai perut kelaparan. Bodohnya diriku, seharusnya aku tak memaksakan selera makanku. Aku memang pemilih makanan, sebab selama ini memang banyak pilihan. Bagaimana bisa aku berjuang jika seperti ini.

Saat hanya terdengar detak jantungku, suara lain tetiba menemani. Seseorang mendekat, langkah kaki yang semakin mendekat. Kemungkinan tetangga memang ada, tapi langkah mereka tak pernah sepasti itu. Orang itu terlalu mantap menampakkan kaki, bisa ku perkirakan sepatu mahal ini seperti yang digunakan petinggi organisasi. Astaga, aku dalam bahaya.

Aku tak bisa merasakan hembusan nafasku, terlalu tegang oleh keadaan ini. Indikasi pencuri tentu saja ada, tapi itu tidak masalah. Hal yang lebih menakutkan, ia mencoba melenyapkanku atau mencuri berkas Didit.

Mataku menyesuaikan dengan cepat pada lemari Didit. Tentu saja semuanya penuh auranya, tapi tak masalah aroma ini memberi kenyaman. Aku merasa terlindungi sama seperti ketika ia memelukku dari belakang waktu itu. Bodoh, apa sekarang aku menginginkan dipeluknya? Romo, ampuni Ajeng dengan pemikiran ini.

Aku kembali menengang ketika terdengar tangan seseorang membuka knop pintu rumah ini. Sejenak aku merasa bersyukur sebab tebakanku tak salah, tapi apa gunanya jika aku tertangkap. Ku cengkeram baju Didit yang bergantung, ah aku mulai menganggap dia benar-benar ada disini. Jantungku terus berdetak saat kaki orang asing itu mulai memasuki ruang tamu, sudah pasti ia tamu tak diundang.

Astaga, aku lupa mengunci pintu kamar ini. Tak ada guna merutuki kebodohan, terus ku lafal doa-doa yang ku ketahui. Romo, tolong Ajeng. Aku memenjamkan mata saat pintu lemari terbuka. Mulutku tak bisa tak berbisik jika berdoa.

"Ajeng?" suara laki-laki memanggilku.

Suaranya terdengar tak asing, saat ku buka mata ku dapati lonjakan rasa lega tak berujung. Tapi kemudian badan lemas, pandanganku gelap.

"Astaga, Ajeng! Kamu kenapa?" suara laki-laki itu meninggi, menahan badanku yang terhoyong ke depan.

Bersambung...

(Bukan) Gadis KeratonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang