Old Rules

129 14 0
                                        

Ruangan ini sepi, sedikit berdebu dan berantakan. Lastri sudah pulang sejak dua hari yang lalu, Didit masih tak sadarkan diri di Rumah Sakit dan aku selalu tak tenang dan was-was jika tak menjaga Didit.

Sekilas mataku terpaku pada foto-foto kami saat baru pertama kali disini. Wajahku amat ceria serasa terbang, Lastri pun juga sama bahagianya, tapi wajah lelaki itu selalu datar. Didit datar seperti biasa, tapi itu terlihat lebih baik dibandingkan melihatnya candu pada alat pernapasan yang penuh selang.

Hening, beberapa saat hanya terdengar suara cicak di plafon ruangan ini, serta deru air yang menetes. Hujan menemaniku, menenggalamkan tangis yang tak terdengar. Aku melangkahkan kaki ke kamar Didit, mencari hal yang bisa menjawab pertanyaanku. Aku tak bisa tenang saat membayangkan betapa kejamnya aku menjadi penyebab luka yang dirasakan orang yang tak pernah ku kenali.

Kamar ini cukup bersih, tak banyak barang disini tapi aku merasa sangat nyaman disini. Aku menemukan sebuah buku, tak bernama Didit tapi nama lain yang ditulis dengan aksara Jawa, Radit Buana S. Namanya terdengar aneh, tapi jelas nama aneh bukan nama orang biasa. Dia siapa?

Hatiku sesak sepenuhnya, bukan hanya fakta aku memerlakukannya dengan buruk. Aku menyesal sebab aku mengorbankan seorang ningrat yang mungkin lebih berharga untuk meneruskan sebuah kepemimpinan. Ningrat bukan hanya sebuah status, tapi tanggung jawab yang dibebankan sejak dilahirkan. Fakta bahwa diriku mengorbankan calon penerus itu membuat diriku semakin terluka, meskipun dia bawahanku, tapi untuk apa aku hina dia. Bodoh!

Mataku mengabur oleh air yang mengenang. Aku tersungkur di atas tempat tidur di kamar itu dengan sebuah surat balasan Dewi.

Teruntuk Ajeng Sosrodiningrat, sepupuku tersayang.

Aku turut berduka atas apa yang menimpamu. Aku tak tau pasti yang apa yang terjadi, tapi sedikit penjelasan dari Lastri cukup melegakan bahwa kalian berdua selamat.

Ampuni diriku ini, Jeng. Kecurigaanmu benar, Didit bukan orang biasa, tapi tak bisa ku ceritakan bagaimana ide ini muncul. Hanya saja percayalah, dia melakukannya bukan oleh bayaran dariku, ia melakukannya atas keinginanya sendiri. Mungkin ini terdengar lebih dalam kebohongan yang ku sembunyikan, tapi dia sesungguhnya baru saja datang dari Londo ketika ku kenalkan ia padamu. Ya, Dia ningrat, sayang. Didit hanya nama kecil dari Radit Buana Sastradahayan.

Tenangkan dirimu. Semuanya akan berlalu. Romomu tak mengetahui ini. Akan sangat tidak bagus baginya, sebab ia sudah mengetahui identitas Radit sebelumnya mengijinkanmu pergi dari rumah. Doaku selalu menyertaimu.

Tak usah kau cemaskan keadaan disini, penjajah terlalu senang dengan perkebunan barunya. Kau bisa membenahi keadaan disana. Segeralah pulang, berada tanah penjajah yang kau benci bukan ide yang bagus. Gusti Tuhan tak pernah membebankan yang tak seharusnya.

Salam cinta,

Dewi-mu.

Bersambung...

(Bukan) Gadis KeratonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang