Mataku benar-benar sudah segar, tentu saja karena rasa penasaran berhasil memberi tenaga lebih. Aku mengingat kembali kejadian yang menjeratku dengan jarum infus ini.
"Dia siapa, Dit?" aku menghamburkan pertanyaan saat ia baru melangkah masuk menghampiri. Aku sedikit mendudukkan diri.
"Ndoro, jangan terlalu dipaksakan. Keadaan Ndoro belum benar-benar pulih."
"Sebenarnya aku kenapa?" tatapku penuh selidik, tapi Didit malah terlihat tak siap dengan pertanyaan itu.
"Seharusnya saya yang tanya apa yang terjadi?" ucapnya tiba-tiba setelah diam cukup lama.
Aku heran, tak suka suaranya yang mulai meninggi. Ada apa sebenarnya? Aku pun tak jelas mengingat. Aku benci diriku sendiri. Aku merajuk, lalu menarik selimut menutupi wajahku dan membelakangi Didit. Lirih ku dengar, ia mendesah panjang antara lega dan pasrah.
"Saya ambilkan minuman dan kue dulu."
***
Aku dan Didit saling diam. Saat ia sudah mengantarku pulang ke rumah ini pun sama. Lastri menyambutku. Terlihat binggung dengan aura peperangam kami berdua. Jelas aku kesal, ia mencoba menyembunyikan sesuatu. Aku tahu itu. Aku memang egois, tapi begitulah diriku. Ia pasti membalas dendam aku telah menyimpan banyak rahasia. Ah, sial.
***
Kesedihan itu terkadang tak pernah antri dan selang-seling sama kebahagian. Tak habis kesalku pada abdi dalem yangd ditugaskan kepadaku. Aku bahkan baru menyadari kepintarannya itu, ia tahu isi suratku. Jika tidak, bagaimana mungkin ia terlibat di organisasi yang sama denganku. Dua hari libur cukup membuatku tebirit-birit menyesuaikan kembali tugas jadi staff serba-bisa ini. Kesal dan lelah sebelumnya ternyata bukan puncak, kini setelah melihat Didit di hadapanku, itulah kekesalan sebenarnya.
Aku menatap minta penjelasan, tapi ia diam.
"Didit!" panggilku saat ia berlalu seperti tak mengenaliku.
Tapi, ia hanya menoleh lalu mengikuti petingi organisasi ini. Sialnya, jika aku bekerja sebagai staff serba-bisa a.k.a Office Girl, ia ternyata berada di bagian administrasi surat yang masuk. Menyebalkan, keadaan ini berbalik sepenuhnya, aku harus melayaninya.
"Jeng, tolong berikan Mr. Didit kopi!" perintah Alex sang ketua organisasi.
Aku menatap tajam, aku melayani Didit? Yang benar saja. Aku ingin membuka mulut, tapi mengingat posisiku, aku urungkan niat.
Ketika aku beranjak ke dapur, saat itulah Didit sudah berada di sampingku, membuat 2 gelas kopi. Lalu, diserahkannya satu di depanku, lalu satunya ia bawa ke mejanya. Aku sedikit mengintip dari celah kain pembatas ruangan. "Syukurlah, ia masih tau diri!" batinku, sedikit tenang, ia masih menghormatiku.
Bersambung
Menulis untuk kesenangan...
Author sempat lepas kontrol sama jalan cerita, sebenarnya semua cerita. Tapi, akhirnya saya sadar, mula niat dibuatnya akun ini. Pencarian hiburan melalui karya. Kenyataannya, semuanya terlupakan ketika liat rating cerita, asyiknya punya followernya banyak, dan lain sebagainya.Terima kasih sudah membaca ya. Cerita ini murni fiksi, pemikiran yang terlintas. Gitu aja wkwk
See you👋

KAMU SEDANG MEMBACA
(Bukan) Gadis Keraton
Ficção Histórica#80 HR in Historical Fiction (18/05/2018) Ajeng, gadis belia berumur 17 tahun yang hidup di jaman penjajahan. Tak ada kesusahan berarti dalam hidupnya, kecuali siksaan diri dari keinginannya bergabung dalam organisasi memperjuangkan kemerdekaan bang...