Hujan masih belum bersedia mengakhiri guyurannya. Tapi, dalam kamar yang hangat dan kesunyian yang memuja, wanita itu terduduk resah di meja yang terletak di sudut kamarnya. Tangannya sudah menyelesaikan tulisannya sejak 2 jam lalu, seharusnya seseorang harus melaporkan bahwa ia kedatangan tamu.
Ajeng teringat kesunyian di apartemen Londo saat Didit kritis di rumah sakit. Konyol, ia masih sangat heran bagainana tubuhnya begitu mudah pingsan di negera kincir angin tersebut.
"Lastri!" suaranya halus, tapi cukup untuk memanggilkan abdi dalemnya kemari.
"Ampun, Ndoro. Saya siap menerima perintah." wanita paruh baya itu menunduk memberi salam, lalu tak menegakkan wajahnya lagi.
"Aku akan pergi memastikan. Kau jagalah di kamarku. Jangan biarkan seseorang tahu aku tidak ada di kamar." perintahnya tegas sambil bergegas mengganti pakaiannya dengan pakaian laki-laki.
"Ampun Ndoro. Tapi, saya tidak berani. Adipati, kakaknya Ndoro sudah berkali-kali kita bohongi, beliau pasti sudah mencurigainya." bantah lembut dan beretika abdi dalemnya.
Ajeng terlihat berpikir, mempertimbangkan argumen wanita yang masih tersimpuh di hadapannya. "Kalau begitu, kau jadilah aku. Terbaring di atas kasur, tertidur." Ketika dilihatnya abdi dalem itu keberatan, ia melototkan matanya, bersikeras.
***
Angin malam ini rupanya masih tak lelah berhembus diantara rintikan hujan yang tak henti. Meskipun, ia tak yakin akan menemukan orang yang ditunggunya disini, ia tetap harus memastikan. Surai ini terbuat dari kayu ulin yang kokoh, berpilar delapan kayu besar yang menyokong bangunan ini. Aktivitas agama di surai ini tampak sudah berakhir. Ini tempat teraman bagi para musafir dan pelarian lainnya.
Saat ia berjalan masuk, saat itulah dilihatnya segerombolan pemuda yang baru memasuki surai ini, basah kunyup. Kedinginan. Wanita ini menunggu di balik pilar tak jauh dari kelompok pemberontak ini.
"Raden Mas, apa yang kita lakukan disini? Bukankah tujuan kita ke pendopo keratonan?" tanya seseorang diantara mereka. Ajeng menunggu jawaban seperti layaknya yang lain, tapi tampaknya lelaki yang ditanya hanya diam.
"Nyuwun sewu, Raden. Tapi, kita akan kedinginan dan kelaparan jika hujan tak berhenti. Kita perlu makanan dan selimut untuk malam ini." tambah seseorang diantara mereka.
Laki-laki berdeham, "Aku tahu pasti apa yang kalian khawatirkan, tapi bisa saja itu perangkap. Bukankah Londo juga menguasai keratonan itu? Kita tak mungkin bekerja sekeras ini hanya untuk menyerah." Ia memandangi satu persatu wajah kawan seperjuangannya itu, "baiklah, aku akan lebih dulu memastikan pendopo itu. Jika dalam waktu 30 menit aku tak kembali, kalian bergegaslah pergi melarikan diri."
Lelaki itu pergi, Ajeng tau ia harus menahannya dan membuatnya tampak sederhana, pendopo itu milik kakaknya dan semuanya aman. Tapi, ia tak bisa membayangkan ia takkan menangis melihat wajah lelaki itu. Saat Ajeng berdebat dengan pemikiran dan hati, lelaki itu sudah beranjak menghilang dari pandangannya.
"Aku bodoh! Kenapa berpikir terlalu lama." Ia merutuki dirinya sendiri, tak menyadari seseorang yang ditabraknya.
"Mohon ampun, saya tidak se--" ucapannya terhenti karene keterkejutannya. Lelaki itu, Raden Mas Raditya didepannya.
Bersambung...

KAMU SEDANG MEMBACA
(Bukan) Gadis Keraton
Historyczne#80 HR in Historical Fiction (18/05/2018) Ajeng, gadis belia berumur 17 tahun yang hidup di jaman penjajahan. Tak ada kesusahan berarti dalam hidupnya, kecuali siksaan diri dari keinginannya bergabung dalam organisasi memperjuangkan kemerdekaan bang...