Kereta kencana ini melaju keluar dari hiruk pikuk perayaan pesta budaya pernikahan keraton. Sepasang pasangan darah biru, tapi pejuang keras kepala perjuangan tanah air itu akhirnya bertemu di pelaminan. Jangan tanyakan tentang banyaknya bisikan tentang lelaki berumur 26 tahun dengan gadis 21 tahun yang termasuk terlambat menikah pada masanya.
Upacara berjalan lancar, kereta kencana pengantin itu pun merebak keramaiam menuju kediaman mereka berdua di kediaman Ajeng dulu.
***
Matahari pagi menyinari embun yang terayun lemah di daun-daun dengan tangkai rapuh. Saat itulah seorang anak laki-laki berlari memerankan drama, menceritakan perjuangan ksatria yang melakukan penjajakan pertama kali ke tanah penjajah seorang diri. Perjalanan penuh rintangan dan sandiwara demi penyelamatan diri itu mempertemukannya dengan sesama pejuang kerasa kepala, tapi seorang wanita. Ya, anak lelaki itu menceritakan kisah ayah dan ibunya sendiri.
"Raden mas" panggil Ajeng pada suaminya. "Aku senang akhirnya seperti ini."
"Ini bukan akhir, Adinda. Lihatlah bagaiman kita mengarahkan anak-anak yang akan keras kepala ini." Didit membelai perut besar Ajeng yang berusia 7 bulan. Ajeng menatap putra pertamanya yang sedang mengisi sesi dongeng sebagai hiburan sebelum pulang bagi anak-anak di sekolah ini.
Flashback on
Ajeng menajamkan telinganya menguping pembicaraan Romo. "Kita seharusnya bisa mendapatkan orang yang dekat kita yang tak mungkin dicurigai, tapi juga cukup paham bahasa sekutu."mimik wajah Romo seperti mulai menemukan jalan keluar.
"Inggih, Romo. Alangkah lebih baik jika dia bangsawan yang banyak berkawan dengan bangsa sekutu." terangnya jelas tapi tetap sopan.
"Mohon ampun, Romo. Bukannya saya lancang."lanjutnya.
Aku menajamkan telingaku, mencoba menebak yang akan dikatakan. Buku di peganganku pun jatuh saat ku dengar tirai rotan ini terkesiap.
"Mati aku!" kutukku dalam hati saat merasakan tatapan tajam lelaki itu menghakimiku.
Ketika Ajeng merasa tak ada alasan untuk lari, tangannya ditarik oleh seseorang secara cepat. Membawanya bersembunyi di belakang pintu pembatas ruangan, lalu mengendap ke taman.
"Kau siapa? Sungguh tidak sopan." Gadis ini terlalu kaget dan marah saat orang asing itu menarik tiba-tiba, terlebih lagi pakainnya jelas menunjukkan dia bukan darah biru.
"Aku menyelamatkanmu jika kau lupa. Ini!" anak lelaki itu meletakkan sebuah kertas dalam gengaman Ajeng.
"Ini apa?" tanya Ajeng penasaran sambil berusaha membuka kertas itu tak sabar, tapi takut. Anak laki-laki itu hanya tersenyum, "Kenalkan, Raditya." Ajeng melongo tak menyambut tangan yang diulur itu. Ia terkejut saat lelaki itu menarik tangannya, lalu mengarahkan tangan Ajeng untuk membalas jabatan itu. "Sampai jumpa, Ajeng!"
Ajeng terkejut, ia tahu namanya. Tapi lelaki itu hanya berlalu pergi, lalu menaikkan tangannya ke atas, melambaikan tangan tanpa menoleh. Lelaki itu berbelok hingga punggungnya pun tak terlihat.
Saat menaiki kereta, ia bergumam, "aku berani bertaruh, Ajeng takkan lepas dari Didit jika ia memang berani mengikuti saran itu."
Begitulah keberanian gadis keraton itu keluar dari sangkar emasnya, bergabung dengan kelompok pemberontak yang dikendalikan Didit dalam diam dan samaran sebagai abdi dalem orang suruhannya.
***
Flashback On
Raden Mas Adipati berdeham, tapi terselip hanya beberapa detik oleh pengerakan mendadak dari wanita yang kini sudah bersimpuh di hadapan Raditya. "Tolong nikahi saya, Raden Mas Raditya. Bantu aku memperjuangkan kemerdekaanku. Saya mohon dengan sangat." ucap tiba-tiba wanita muda itu.
"Saya bersedia dengan syarat." jawab Didit setelah berhasil mengendalikan rasa terkejutnya. Raden Mas Adipati binggung dibuatnya, dia pikir laki-laki ini sudah menunggu adik perempuannya lama. Apalagi Dewi sudah mau menceritakan semua upaya perjodohan yang orangnya ternyata lelaki di hadapannya ini
Ajeng yang bersimpuh dihadapan Didit, menegakkan pandangannya. Ia heran, tapi tak bisa berkata, kecuali "Baiklah, apapun syaratnya." jawabnya kemudian.
"Saya ingin kamu menjadi terakhir dan pertama dalam hidup saya. Oleh sebab itu, jangan gegabah lagi. Jangam tutupi segala rencana pergerakan yang kau pikirkan. Mari kita bicarakan dulu, dan eksekusi rencana takkan pernah melibatkan dirimu turun langsung ke medan perang." terang Didit akhirnya mantap, meski melihat wajah membantah wanita yang diidamkannya ini.
Ajeng bisa menerima syarat berbagi rencana, tapi tidak dengan hanya berada di belakang layar. Ia harus melihat secara langsung, setidaknya memeriksa kegagalan dan keberhasilan pasukannya. Ketika Ajeng ingin membantah syarat terakhir, Didit berkata, "Aku mencintaimu, Ajeng. Hiduplah lama denganku bersama anak-anak kita kelak. Jangan buat aku jantungan mencemaskan keselamatanmu.
Kedua pasangan tampak berkaca-kaca matanya, tersentuh oleh bahasa yang bersuara melalui tatapan. Sedangkan, keromantisn itu menjadi tontonan Raden Mas Adipati hanya tersenyum lega dan bergumam, "Romo, Ajeng akan bahagia dan aman sekarang. Ku tuntaskan titah terakhirmu."
Tamat.
Terima kasih dukungannya, doakan kisah ini bisa direvisi untuk dokumentasi yang lebih bagus. Saran dan kritik, serta pesan dan kesan sangat diterima dengan baik. Aamiin 😂
Selesai dengan 28 bagian. Well done! See you 🙏😀

KAMU SEDANG MEMBACA
(Bukan) Gadis Keraton
Narrativa Storica#80 HR in Historical Fiction (18/05/2018) Ajeng, gadis belia berumur 17 tahun yang hidup di jaman penjajahan. Tak ada kesusahan berarti dalam hidupnya, kecuali siksaan diri dari keinginannya bergabung dalam organisasi memperjuangkan kemerdekaan bang...