Keinginan

620 42 0
                                    

"Aku inginnya itu aku." tatapku menajam pada salju yang menutupi jalan di samping kafe yang ku tempati.

Aku menghembus napas mendekati jemariku, berusaha mentransfer kehangatan tubuhku. Aku kedinginan. Temperatur di bawah 0°C bukan suasana yang bersahabat, seketika itu pun matahari yang terik di jam 12 ini sangat ku rinduku. Rumahku, tanah air di pulau Jawa yang menghangatkan dan sejuk di antara pepohonan.

Aku menoleh, mengedarkan pandangan ke belakang saat ku sadari ada sentuhan manusia di bahuku. Siapa yang berani, kutukku.

Aku menghela napas panjang, tapi berusaha menutupinya. Saat ingin ku liat jelas muka orang kurang kerjaan dan kurang ajar itu, menurutku. Dia telah berbalik, menuju pintu keluar. Aku segera mengejarnya, tapi sial. Didit menarik tanganku, menghentikan langkahku, dan membawaku pulang.

"Saatnya ndoro pulang. Mari!" tegasnya tanpa senyum tapi tetap hormat.

"Menyebalkan." sebalku dalam hati. Aku menatap wajahnya, mencari kesungguhan di mata indahnya, tapi Ia hanya menunduk. Aku jadi tak tega hendak menghiraukannya. "Sebut namaku saja, ga bisa ya, Dit?"

"Mohon maaf, saya belum terbiasa. Tapi, itu sungguh tak pantas, ndoro." tangannya menutup mulutnya, merasa bersalah.

Aku meninggalkannya, tak ada habisnya meladeninya. Sial, aku tak bisa memberikan pukulan ke orang asing itu.

***

Berkutat dengan buku bahasa asing ini perlu kerja ekstra, terlebih aku masih beradaptasi, membunuh secara kejam rasa rindu dan kesepian setiap kali itu datang. Ah, enaknya jika aku bisa menikmati ubi dan teh hangat di kebun teh Romo.

Tapi, tekadku tak pernah begitu saja dibiarkan menguapkan. Meski dijejal teori-teori teknologi sains yang tak ku pahami secara utuh, aku berpikir jauh tentang perjuangan di tanah air. Apalagi setelah pagi ini, surat dari perpanjangan mataku datang. Kiriman paket dari Dewi memang memakai bahan makanan di luar, tapi berita di setiap suratnya.

Oleh sebab akses itulah, aku mengabdikan diri di kantor perwakilan negeri ini di tanah orang ini. Bekerja dengan gaji sukarela sebagai suruhan orang-orang pemegang kekuasaan. Posisiku tentu beruntung, status bangsawan yang ku terima layaknya kartu bebas akses kemanapun, terutama dengan adanya Didit di sampingku. Penampilan Didit dengan blankon dan pakaian khas abdi dalem menekankan statusku secara jelas. Aku tak pernah khawatir dengan godaan bangsa penjajah itu, aku memiliki hak untuk dilindungi.

Ya, lagipula tak ada yang menaksir diriku yang sengaja menggunakan tompel palsu, ganjelan gigi agar terlihat lebih maju, kulit yang ku samarkan penuh panu dan penyakit kulit, serta badan yang melebar kemana-mana akibat ganjelan kain di sembarangan tempat. Aku cukup jelek agar tidak mendapat perhatian apapun. Itu bagus, tak ada yang mencurigai.

Kuliah hari ini cukup panjang untuk membahas hasil proyek yang kami kerjakan. Bukan waktu yang tepat saat aku ingin membalas surat Dewi dengan informasi penting, strategi perang penjajah selama sebulan ke depan.

Bersambung..

Semoga bisa menjelaskan benang merahnya. Aamiin.

Makasih sudah membaca yaa. Mohon tinggalkan jejak yaa 😊
Sampai ketemu lagi 😆

(Bukan) Gadis KeratonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang